Saat Teduh - Renungan Harian Kristen; Matius 7:28-29 "Ia Mengajar Mereka Dengan Kuasa Dan Wibawa Ilahi Yang Berasal Dari Diri-Nya" Oleh John Stott
Judul Renungan; Ia Mengajar Mereka Dengan Kuasa Dan
Wibawa Ilahi Yang Berasal Dari Diri-Nya
Bacaan alkitab;
Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka(TB). Orang banyak itu heran sekali mendengar khotbah Yesus, karena Ia mengajar dengan penuh wibawa, berlainan sekali dengan para pemimpin Yahudi (FAYH). Matius 7:28-29
Banyak orang – termasuk penganut agama-agama lain dan yang juga tidak
beragamapun – mengakui bahwa mereka bersedia menerima khotbah di bukit sebagai
ajaran yang gamblang tentang kebenaran-kebenaran yang tidak perlu disangsikan
lagi.
Mereka paham bahwa dalamnya tercakup ucapan-ucapan seperti
“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan”
“Kasihilah musuhmu” “Tak seorangpun mengabdi kepada dua tuan” “Janganlah kamu
menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” dan “Segala sesuatu yang kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”
Alangkah indahnya!
Disini, demikian kata mereka, kita bertemu dengan Yesus dari Nazareth,
guru moral yang bentuk ajaran-Nya paling bersahaja dan paling menakjubkan.
Disinilah kentara amanat-Nya yang paling inti sebelum ditutupi oleh lapisan
tambahan-tambahan tanpa arti, yang dibutuhkan para juru tafsir di kemudian
hari.
Disinilah kita jumpai “Yesus yang asli” dengan etika yang sederhana dan
bukan dogma-dogma, seorang nabi kebenaran yang polos, yang mengaku diri-Nya
tidak lebih dari seorang guru manusiawi, yang mengajar kita untuk berbuat baik
dan mengasihi satu sama yang lain.
“Yesus dari dogma itu saya tidak kenal”, demikian dikatakan oleh seorang
professor Hindu kepada Stanley Jones, “tapi Yesus dari khotbah di bukit dan di
salib itu saya kasihi dan memikat saya.” Hal yang sama juga dikatakan oleh
seorang guru Sufi Muslim “Tatkala aku baca khotbah di bukit itu aku tak dapat
menahan air mataku.”
Tapi tanggapan populer terhadap khotbah di bukit ini salah kaprah. Jika
tanggapan serius ini diteliti, maka dalamnya terdapat dua kekeliruan. Pertama,
pendapat Yesus sebagai guru. Kedua, caranya ajaran Yesus itu
disajikan. Sebab jika keduanya kita perhatikan lebih dekat, maka akan timbul
sesuatu yang sama sekali lain.
Sesungguhnya khotbah di bukit adalah uraian tentang kebudayaan kristiani
dan sebagai panggilan untuk menjadi pengikut-Nya yang radikal. Sekarang tinggal
kita membawa ke permukaan keunikan guru itu sendiri.
Kita akan mendapati, bahwa mustahil memasang pasak antara Yesus dari
khotbah di bukit dan Yesus dari bagian lain dalam Perjanjian Baru. Yang kita
temukan ialah, pengkhotbah dari khotbah di bukit itu adalah sama dengan Yesus
yang adikodrasi, dogmatis dan ilahi yang kita temui diseluruh Perjanjian Baru.
Jadi pertanyaan utama yang dihadapkan khotbah itu kepada kita bukanlah
“Keluarbiasaan apa yang dapat anda simpulkan dari ajaran ini” melainkan “Siapa
guru yang luar biasa ini” dan inilah reaksi yang benar sesudah orang mendengar
khotbah itu.
Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka. Matius 7:28-29
Yang tidak habis pikir oleh para pendengar pertama khotbah itu (orang
banyak maupun para murid-Nya, 5:1), ialah otoritas luar biasa yang
diperlihatkan oleh pengkotbahnya. Ia sedikitpun tidak ragu atau tersendat dalam
mengucapkan akan kata-kata-Nya. Ia tidak menyarankan atau membela suatu
pendirian. Dan di pihak lain, Ia juga tidak pernah bombastis atau berbicara
dengan gaya mempesona.
Melainkan, dengan keyakinan yang mantap dan tenang Ia memaparkan
kaidah-kaidah yang berlaku bagi warga kerajaan Allah. Dan takjublah orang
banyak itu, bahkan – sebab kata Yunani yang dipakai sangatlah kuat –
“terpukau.” Sesudah seribu Sembilan ratus tahun, demikianlah komentar A.M
Hunter, “kita sama terpukau juga.”
Jadi, amatlah bermanfaat jika kita coba menganalisa “otoritas” Yesus
yang ditunjukkan-Nya dalam khotbah itu. Apa dasarnya? Apakah pemahaman-Nya
tentang diri-Nya sendiri yang membuat Dia berbicara dengan cara demikian?
Kunci-kunci apakah yang diberikan khotbah itu sendiri untuk mengerti jatidiri
dan misi-Nya? kita tidak usah jauh-jauh mencari untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Yesus Adalah Hikmat Allah
Orang banyak takjub oleh pengajaran-Nya, sebab Ia mengajar mereka
sebagai orang yang berkuasa. Memang, Ia menampilkan diri-Nya pertama dan
terutama sebagai guru, dan Ia mengherankan orang banyak itu oleh isi, mutu dan
cara-Nya mengajar. Tapi tentu terdapat ribuan guru lain dalam ke Yahudi-an dan
dimana-mana pun. Banyak dari antara mereka adalah teman-Nya sezaman. Lalu, apa
yang begitu istimewah tentang Dia?
Entah bagaimana, Ia berasumsi mempunyai wewenang untuk mengajarkan
kebenaran yang mutlak. Ia Yahudi, namun sifat amanat-Nya bukan Yahudi. Ia
menafsirkan hukum taurat Musa, namun sedemikian rupa sehingga memperlihatkan
bahwa itulah hukum Allah. Apa yang dikatakan-Nya tidak terikat kepada suatu
kebudayaan dalam arti terikat kepada suatu bangsa (orang Yahudi) atau suatu
tempat (Palestina).
Karena amanat-Nya mutlak, maka amanat itu juga universal. Jadi, Ia
berbicara sebagai orang yang tahu apa yang dibicarakannya. “Kami berkata
tentang apa yang kami ketahui” (Yoh 3:11), demikian kata-Nya dalam konteks yang
lain. Ia tahu siapa yang akan besar dalam kerajaan Allah dan siapa yang
terkecil, siapa yang “berbahagia” dimana Allah dan siapa tidak, jalan yang mana
yang menuju kepada kehidupan dan yang mana yang menuju kepada kebinasaan.
Dengan mutlak Ia menyatakan siapa yang akan mewarisi kerajaan surga,
melihat Allah dan layak disebut anak-anak Allah. Bagaimana Ia dapat begitu
yakin?
Para ahli tafsir berusaha mencari bahasa yang cocok untuk mengutarakan roma
ajaran Yesus yang istimewa ini. Saya telah menghimpun beberapa usaha mereka.
Mereka cenderung melukiskan Yesus sebagai raja atau sebagai pembuat
undang-undang. “Ia berbicara seperti raja” demikian diungkapkan oleh Spurgeon,
dengan “kepastian seorang raja” atau dengan “berdaulat.”
Pengalimatan Gresham Machen ialah bahwa “Ia mengklaim diri-Nya pembuat
undang-undang kerajaan Allah” sedangkan James Denney mengkombinasikan gambaran
seorang raja dan seorang pembuat undang-undang dengan menulis tentang “Kedaulatan-Nya
secara nyata atas hati Nurani, karsa dan rasa manusia” Maupun tentang
“Otoritas-Nya yang unggul, membuat undang-undang tanpa kesangsian dan menuntut
dengan mengimplikasikan kepatuhan.” Dan Calvin mengatakan bahwa orang banyak
itu takjub “karena suatu keangungan yang ganjil, tak terperikan dan luar biasa
memikat hati dan pikiran manusia kepada-Nya.”
Para pendengar-Nya mendengar dan membandingkan serta mempertentangkan
Dia dengan banyak guru lain yang mereka kenal, khususnya para ahli taurat. Yang
membuat mereka terheran-heran ialah, Ia mengajar mereka sebagai orang yang
berkuasa dan sama sekali bukan seperti ahli taurat. Sebab ahli taurat tidak
mengklaim memiliki otoritas.
Mereka melihat tugas mereka hanya dalam rangka kesetiaan kepada tradisi
turun-temurun yang telah mereka warisi. Jadi mereka seperti ahli-ahli benda
kuno, yang kerjanya melulu menggali kitab-kitab tafsir, mencari preseden,
mengklaim dukungan nama-nama nabi yang tersohor. Otoritas mereka satu-satunya
terletak dalam otoritas orang-orang yang terus-menerus mereka kutip.
Yesus di lain pihak tidak pernah mengecap Pendidikan sebagai ahli taurat
(bdg 7:5). Ia menimbulkan kehebohan karena sekelumit pun tidak ambil pusing
terhadap tradisi yang turun-temurun itu. Tidak menaruh hormat yang istimewa
pada adat kebiasaan sosial. Dan Ia bicara dengan kesegaran tersendiri yang
memancar dari diri-Nya, yang menawan hati sebagai orang, tapi menimbulkan
amarah sebagian lain.
A.B Bruce meringkaskan perbedaan itu dengan mengatakan, bahwa para ahli
taurat berbicara atas otoritas orang lain sedangkan Yesus berbicara atas
otoritas diri-Nya sendiri.
Jika Ia tidak mengajar seperti para ahli-ahli taurat, Ia juga tidak
mengajar seperti nabi-nabi Perjanjian Lama. Para nabi tidak mengidap kecanduan
kepada masa lalu. Mereka hidup pada masa kini mereka. Sebab mereka mengklaim
bahwa mereka berbicara atas nama Yahweh, sehingga suara yang hidup dari Allah
yang hidup terdengar dari bibir mereka. Yesus juga menegaskan bahwa
kata-kata-Nya adalah firman Allah; “Ajaran-Ku tidak berasal diri-Ku sendiri,
tetapi dari Dia yang mengutus Aku” (Yoh 7:16).
Namun ada bedanya. Formula yang paling jamak yang dipaka para nabi jika
akan memulai nubuatnya ialah “beginilah firman Tuhan.” Yesus tidak pernah
memakai formula ini. Ia mulai dengan “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya” dan
ini berarti Ia berani berbicara atas nama-Nya dan atas otoritas nama-Nya
sendiri, yang Ia tahu adalah identic dengan nama dan otoritas Bapa (Yoh
14:8-11).
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya” ini (amen legohumin) atau “Aku
berkata kepadamu” (lego humin) terjadi enam kali dalam khotbah di bukit (5:18;
6:2,5,16,25,29). Pada keenam kesempatan lainnya, yakni dalam keenam antitesa dari
bab 5, kita temukan pernyataan yang lebih tegas lagi dengan kata ego (tetapi)
yang menggarisbawahi itu, “Tetapi Aku berkata kepadamu” (ego de lego humin).
Ia bukannya menentang Musa, seperti yang sudah kita lihat, melainkan
menentang penyimpangan para ahli taurat dari Musa. Namun dalam melakukan ini,
Ia tantang juga tradisi turun-temurun yang sudah berlangsung selama
berabad-abad, dengan mengklaim bahwa Ia akan menggantinya dengan penafsiran-Nya
sendiri yang otoritatif tentang hukum Allah.
Demikianlah Ia seperti dalam kata-kata Plummer “berdiri dengan berani
sebagai seorang legislator dan bukan sebagai seorang juru tafsir.” Ia memerintahkan
dan melarang, mencabut dan menjanjikan semata-mata atas kuat kuasa kata-kata-Nya.
Ia demikian yakin akan kebenaran dan nilai ajaran-Nya, sehingga Ia katakana bahwa
hikmat manusiawi dan kebodohan manusiawi adalah diukur dari reaksi mereka terhadap
ajaran-Nya.
Orang berhikmat, demikianlah Ia nyatakan secara implisit, ialah orang
yang mendasarkan hidupnya atas ajaran-Nya dengan cara mematuhinya. Semua manusia
adalah bodoh kalau menolak ajaran-Nya. Mengenai Dia bahkan bisa diberlakukan
kata-kata dalam Amsal 1:33 “Siapa mendengarkan Aku, ia tinggal dengan aman.” Manusia
hanya bisa belajar berhikmat jika mengindahkan segala perkataan-Nya yang adalah
hikmat Allah.
Yesus adalah Kristus
Ada petunjuk dalam khotbah di bukit, sebagaimana juga dalam bagian lain
ajaran-Nya, bahwa Yesus tahu Ia datang ke bumi adalah untuk melaksanakan suatu
misi. “Aku datang” demikianlah Ia berkata (5:17; bdg 9:13; 10:34; 11:3,19;20:28).
Karena seperti juga dalam injil Matius Ia menunjuk kepada diri-Nya selaku yang “diutus”
(10:40; 15:24; 21:37).
Khususnya, Ia bukan datang “untuk meniadakan hukum
taurat atau kitab para nabi” melainkan Ia datang untuk menggenapinya (plerosai).
Klaim ini bersahaja kedengarannya sampai kita menalar implikasi-implikasinya.
Apa yang ditegaskannya ialah bahwa semua yang dibayangkan dan diramalkan oleh
kitab taurat maupun kitab para nabi mendapat penggenapannya di dalam Dia.
Dan karena itu semua garis kesaksian dalam kitab
Perjanjian Lama berkumpul menjadi satu di dalam diri-Nya. Ia tidak berpikir
tentang diri-Nya sebagai nabi, bahkan tidak sebagai nabi yang terbesar dari
antara semua nabi, melainkan sebagai penggenapan semua nubuat. Kepercayaan ini,
bahwa kini hari-hari penantian itu sudah berlalu dan bahwa Dia dan oleh Dia
telah tiba masa penggenapan, telah tertanam secara mendalam dalam kesadaran
Yesus.
Kata-kata pertama-Nya yang dicatat pada saat Ia memulai pekerjaan
pelayanan-Nya di hadapan umum ialah “waktunya telah genap (peplerotai), kerajaan
Allah sudah dekat (Mar 1:15; Mat 4:17). Dalam khotbah di bukit terdapat lima rujukan
langsung kepada kerajaan Allah (5:3, 10; 6:10, 33; 7:21). Rujukan itu
mengimplikasikan – meskipun dengan kadar kejelasan yang berbeda-beda – bahwa Ia
sendirilah yang menyatakannya sudah mulai dan bahwa Ia berwenang mengijinkan orang
masuk ke dalamnya serta membagi-bagikan berkat-berkat kerajaan itu kepada
mereka.
Semua ini berarti – secara ringkas – bahwa Yesus adalah Kristus, Mesias Allah
yang dinanti-nantikan dalam Perjanjian Lama, Tuhan dan Juruselamat yang harus
dipatuhi. Dia menurunkan berkat-Nya atas manusia yang percaya dan Ia akan duduk
mengadili kelak pada hari penghakiman. Tapi bukan itu saja, Yesus adalah anak
Allah dan apa yang dilakukan oleh manusia terhadap Dia adalah yang dilakukan terhadap
Allah.
Khotbah Di Bukit Adalah Manifesto Kristus Tentang
Kerajaan Allah
Apabila kita mengakui kedaulatan Kristus sebagai guru, Mesias, Tuhan,
Juruselamat, Hakim, Anak Allah dan Allah, maka tak dapat tidak kita akan
menyambut khotbah di bukit ini dengan sungguh-sungguh. Sebab inilah manifesto
Kristus tentang kerajaan Allah dan dalamnya kita temukan tolak ukur, nilai-nilai
dan prioritas-prioritasnya. Terlalu sering orang kristen berpaling dari
tantangan manifesto ini, untuk kemudian menerima dan mengabdi kepada tolak ukur
masyarakat dalam mana mereka hidup.
Mereka sering hampir tidak dapat lagi dibedakan dari dunia. Kekristenan mereka
sudah hilang garamnya dan terangnya sudah dipadamkan. Kekristenan kita tidak
lagi mencerminkan bahwa kita adalah umat Allah yang baru, yaitu seyogyanya
sudah mencicipi dan hidup dalam sukacita dan kuat kuasa zaman kepenuhan yang
mendatang itu.
Hanya jika umat kristen hidup dengan berpegang pada manifesto ini, dunia
akan tertarik kepada Kristus, kepada Allah dan Allah akan dimuliakan. Kristus adalah
Tuhan dari kebudayaan kristiani, kebudayaan alternatif dunia dan Ia memanggil
kita untuk menegakkannya di tengah-tengah kebudayaan Indonesia masa kini.
Disadur Dari “Khotbah Di Bukit” Oleh John Stott
Posting Komentar untuk "Saat Teduh - Renungan Harian Kristen; Matius 7:28-29 "Ia Mengajar Mereka Dengan Kuasa Dan Wibawa Ilahi Yang Berasal Dari Diri-Nya" Oleh John Stott"