Refleksi Paskah - Renungan Harian Kristen; Yesaya 53:4-6 "Yesus Mati Di Bawah Murka Tuhan" Oleh Paul Washer
Judul Renungan; Yesus Mati Di Bawah Murka Tuhan
Bacaan alkitab;
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian (TB).
Namun sebenarnya penyakit kita yang ditanggung-Nya, kesengsaraan kita yang diderita-Nya. Kita mengira bahwa Ia dikutuk Allah dan dihukum karena dosa-dosa-Nya. Padahal Ia ditikam karena segala dosa kita; Ia diremukkan karena segala kejahatan kita. Dia menanggung hukuman supaya kita memperoleh keselamatan; Ia terluka oleh cambukan supaya oleh segala bilur-bilur-Nya kita disembuhkan! Kita semua sesat seperti domba! Kita meninggalkan jalan TUHAN dan memilih jalan sendiri. Namun TUHAN menanggungkan segala kesalahan serta kejahatan kita ke atas Dia! (FAYH). Yes 53:4-6
Untuk mendapatkan
keselamatan bagi umat-Nya, Yesus Kristus tidak hanya menderita karena
ditinggalkan oleh Tuhan, namun Ia juga meminum cawan pahit murka Tuhan sampai
habis dan mati dengan berdarah untuk menggantikan umat-Nya. Hanya dengan cara
itulah keadilan Ilahi dapat dipenuhi dan dipuaskan, murka Tuhan dapat
diredakan, dan pendamaian dimungkinkan.
Di taman Getsemani,
Yesus berdoa sebanyak tiga kali supaya “cawan tersebut” disingkirkan dari Dia.
Namun, setiap kali Ia berdoa, Ia menyerahkan kehendak-Nya kepada Bapa-Nya. Kita
harus bertanya kepada diri kita sendiri; apa yang berada di dalam cawan itu
yang menyebabkan Dia berdoa begitu bersungguh-sungguh? Apa isi cawan tersebut
hingga Ia begitu mengalami kepedihan yang mendalam sampai keringat-Nya bercampur
dengan darah? Sering kali dikatakan bahwa cawan tersebut mewakili segala
sesuatu yang dapat Ia lihat sebelum semuanya terjadi, yaitu salib Romawi yang
kasar, siksaan secara fisik yang sedang menanti-Nya, pukulan cambuk di atas
punggung-Nya, mahkota duri yang menancap di kening-Nya, dan paku-paku yang
menembus tangan dan kaki-Nya.
Mereka yang menganggap
hal-hal itu sebagai sumber dari kepedihan Yesus yang begitu mendalam, tentulah
mereka tidak mengerti dan tidak memahami apa yang terjadi di atas Salib. Meskipun
segala penderitaan yang ditimpakan kepada-Nya oleh tangan-tangan manusia
merupakan bagian dari rencana penebusan Tuhan, namun ada sesuatu lain yang
lebih tidak menyenangkan dan yang membangkitkan teriakan Sang Mesias agar
dilepaskan.
Pada abad-abad waktu
jemaat mula-mula muncul, ribuan orang Kristen tewas disalib. Dikatakan bahwa
Kaisar Nero menyalibkan mereka dengan cara terbalik, yaitu kepala di bawah. Ia
mengolesi tubuh mereka dengan ter, kemudian membakar tubuh mereka hingga
memberikan terang yang besar bagi kota Roma. Sejak saat itu, di sepanjang abad
tiada terhitung lagi orang Kristen yang
didera oleh penderitaan jasmani yang tidak terbayangkan dan terkatakan. Namun
demikian, kesaksian dari teman dan musuh tetap sama yaitu mereka menghadapi kematian
mereka dengan keberanian.
Apakah kita harus
percaya bahwa para pengikut Sang Mesias mampu menghadapi kematian dengan
sukacita yang tidak terkatakan, sedangkan Sang Juruselamat itu sendiri sedang
gemetar ketakutan di sebuah taman karena memikirkan penderitaan jasmani yang
sama? Apakah Yesus yang adalah Tuhan yang Mahakuasa takut dicambuk dan
dimahkotai duri, takut terhadap salib, lembing, atau apakah cawan tersebut
menghadirkan suatu rasa ngeri yang tidak lagi dapat diukur melebihi kekejaman
terburuk manusia sekali pun?
Untuk memahami isi yang
begitu tidak menyenangkan dari cawan tersebut, kita harus merujuk kepada
nas-nas Kitab Suci. Di sana ada dua nas yang secara khusus harus kita
pertimbangkan; satu nas berasal dari kitab Amsal, sedangkan nas lainnya dari
kitab Nabi Yeremia:
“Sebab sebuah cawan berada di tangan TUHAN, dan anggur berbuihbuih penuh campuran bumbu; lalu, Dia menuang dari padanya; sesungguhnya semua orang fasik di bumi akan minum dan menghabiskannya.” (Maz. 75:9)
“Demikianlah firman TUHAN, Tuhan Israel, kepadaku, 'Ambillah dari tangan-Ku cawan [yang berisi] anggur kehangatan murka ini, dan minumkanlah [isinya] kepada segala bangsa kepadanya Aku mengutus engkau. Biarlah mereka minum sampai rebah rempah dan menjadi gila karena pedang yang Kusuruhkan ke antara mereka' ” (Yer. 25:15-16)
Sebagai akibat dari
pemberontakan yang tiada hentinya dari orang jahat tersebut, keadilan Tuhan
telah mengeluarkan keputusan untuk menghukum mereka. Sudah selayaknya Ia
mencurahkan kemarahan-Nya atas bangsa-bangsa tersebut. Ia akan menuangkan
anggur murka -Nya ke dalam mulut mereka dan memaksa mereka untuk meminumnya
sampai habis.
Pikiran-pikiran tentang
takdir dunia yang akan terjadi sudah teramat mendebarkan dan menakutkan.
Padahal semua itu sudah pasti akan menjadi takdir bagi semua orang, kecuali ada
kemurahan Tuhan bagi keselamatan umat-Nya. Ada kebijaksanaan Tuhan yang telah
menentukan sebuah rencana penebusan bahkan sebelum dunia ini diciptakan.
Putra Tuhan akan menjadi
manusia dan menjalani kehidupan-Nya dalam ketaatan yang sempurna kepada hukum
Tuhan. Ia akan menjadi seperti kita dan dicobai dalam segala hal, namun tanpa
berdosa. Ia akan hidup dalam kebenaran yang sempurna dan suci bagi kemuliaan
Tuhan dengan mewakili dan mengganti umat-Nya. Pada suatu waktu yang ditetapkan
dahulu, Ia akan disalibkan oleh tangan orang-orang celaka yang jahat.
Di atas salib tersebut
Ia akan menanggung kesalahan dan dosa umat-Nya. Ia akan menderita karena murka
Tuhan melawan umat-Nya. Sang Mesias menggabungkan keberadaan-Nya sebagai Putra
Tuhan yang kudus dan sejati dan sebagai seorang 'Putra Adam' (manusia) yang
sejati bersatu dalam pribadi-Nya yang mulia. Ia mengambil cawan pahit murka
Tuhan dan meminumnya hingga habis. Ia meminumnya hingga “sudah selesai“ supaya keadilan Tuhan telah dipuaskan. Murka
Tuhan yang seharusnya menjadi hukuman kita ditimpakan ke atas Putra-Nya.
Oleh Dia murka tersebut
telah dipadamkan sepenuhnya. Bayangkanlah sebuah bendungan yang besar dan
dipenuhi dengan air. Dindingnya harus menahan tekanan berat di baliknya. Dalam
sekejap, jika dinding bendungan itu yang menahan air tersebut dijebol, maka
seketika itu juga kekuatan yang sangat dahsyat dari banjir bandang akan
terlepas. Saat kerusakan besar sedang menuju desa-desa di sekitar bendungan
tersebut, tiba-tiba tanah-tanah yang dilalui air itu terbuka dan menyerap semua
air yang ada sampai habis.
Desa-desa yang ada
menjadi selamat dan tidak terkena banjir bandang. Dalam gambaran yang mirip,
hukuman Tuhan sedang mengarah kepada setiap orang. Mereka tidak dapat menemukan
jalan untuk melarikan diri, baik ke atas bukit yang sangat tinggi maupun jurang
yang paling dalam. Yang kuat berjalan kaki sudah tidak mampu lagi berjalan,
yang kuat berenang sudah tidak mampu lagi berenang. Bendungan itu sudah rusak
parah dan tidak ada satu cara pun yang dapat memperbaiki kerusakannya.
Pada saat harapan setiap
orang telah padam, pada waktu yang telah ditetapkan, Putra Tuhan datang. Ia
berdiri di antara keadilan Tuhan dan umat-Nya. Ia menelan murka Tuhan yang dikobarkan
oleh umat-Nya dan hukuman yang seharusnya diterima oleh mereka. Pada saat Ia
mati, tidak ada
satu tetes pun hukuman yang masih tersisa. Ia telah menelan semuanya!
Bayangkanlah dua buah
batu penggiling raksasa. Keduanya saling berputar satu dengan yang lainnya.
Bayangkanlah di tengah-tengah batu tersebut terjepit sebutir gandum yang
tertekan dengan keras di antara kedua alat berat yang teramat dahsyat tersebut.
Pertama, sekamnya tercabik-cabik tidak terbayangkan, kemudian bagian dalamnya
hancur lebur menjadi debu. Gandum itu tidak dapat dipulihkan lagi keadaannya.
Semuanya hilang dan
tidak dapat diperbaiki lagi. Dalam gambaran yang sama, ”TUHAN berkehendak”
meremukkan Putra-Nya yang tunggal dan membuatnya mengalami penderitaan. Sang
Putra pun rela tunduk dalam penderitaan yang tidak terkirakan itu supaya Tuhan
dipermuliakan dan umat-Nya dapat ditebus. Ini tidak berarti bahwa Tuhan
bersukacita dalam penderitaan Putra-Nya, melainkan melalui kematian-Nya
kehendak Tuhan digenapi.
Tidak ada kekuatan apa
pun yang dapat menghapuskan dosa, yang dapat memuaskan keadilan Tuhan, dan yang
dapat meredam murka Tuhan atas kita. “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam
tanah dan mati, ia tetap satu biji saja,” yaitu sendiri dan tanpa mempelai
wanita-Nya. Kepuasan-Nya tidak terletak pada penderitaan itu sendiri, namun
pada penggenapan semua penderitaan tersebut. Tuhan dinyatakan dalam kemuliaan
yang belum diketahui baik oleh para malaikat maupun manusia, dan umat-Nya akan
dianugerahkan persekutuan yang akrab dan tidak terhalangi lagi.
Dalam salah satu cerita
yang paling gagah berani dalam Perjanjian Lama, Abraham diperintahkan untuk
membawa putranya, Ishak, ke Gunung Moria. Di atas gunung itu, ia harus
mempersembahkan Ishak sebagai korban bakaran untuk Tuhan.
“Bawalah sekarang anak laki-lakimu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishak, dan pergilah ke tanah Moriah, dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran di atas salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”(Kej. 22:2)
Betapa beban yang berat
telah ditempatkan di atas bahu Abraham! Kita bahkan tidak dapat mulai
membayangkan kesedihan yang memenuhi hati
bapak
tua ini. Kesedihan ini menyiksanya di setiap langkah perjalanannya. Nas Alkitab
tersebut begitu berhati-hati menerangkan kepada kita bahwa ia diperintahkan
untuk mempersembahkan “anak laki-lakinya yang tunggal, yang ia kasihi.”
Kekhususan ini tampaknya dibuat untuk menangkap perhatian kita.
Kita seharusnya
menyadari suatu makna yang jauh lebih besar daripada apa yang dapat kita katakan.
Pada hari yang ketiga, kedua orang tersebut sampai di tempat yang ditunjukkan.
Sang bapak mengikat putra yang dikasihinya itu dengan tangannya sendiri.
Akhirnya, dalam ketaatannya akan perintah Tuhan, Abraham meletakkan tangannya
di atas kening putranya, dan “mengambil pisau untuk menyembelih anaknya.”
Saat itu juga, kemurahan
dan kasih Tuhan dinyatakan dan tangan orang yang sudah tua itu terhenti. Tuhan
memanggilnya dari langit dan berkata:
“Abraham, Abraham!' ...Janganlah engkau mengulurkan tanganmu kepada anak itu, dan janganlah berbuat apa pun kepadanya, karena sekarang Aku telah mengetahui bahwa engkau takut akan Tuhan, dan engkau tidak menahan anak laki-lakimu, yaitu anak tunggalmu dari Aku!” (Kej. 22:11-12)
Pada saat ia mendengar
suara Tuhan tersebut, Abraham mengangkat matanya dan melihat seekor domba
jantan yang tanduknya terjebak di semak-semak. Maka, ia mengambil domba jantan
itu dan mempersembahkannya ganti anak laki-lakinya. Kemudian ia menamai tempat itu,
“Yahweh-Yireh”, yang berarti, “TUHAN menyediakan.”
Ada ungkapan yang masih
ada sampai sekarang, ”di atas gunung TUHAN, akan disediakan.” Pada waktu layar ditutup dan cerita ini
berakhir, bukan hanya Abraham saja yang mengambil napas lega bahwa Ishak
dilepaskan, melainkan juga setiap orang yang pernah membaca kisah ini. Kita
mungkin berpikir, betapa itu adalah suatu akhir cerita yang indah. Namun
ternyata cerita itu belum berakhir. Akan tetapi, itu hanyalah jeda waktu saja!
Dua ribu tahun kemudian,
layarnya terbuka kembali. Latar belakangnya gelap dan sangat tidak
menyenangkan. Yang menjadi pusat adalah
Putra
Tuhan di atas bukit Golgota. Ia terikat oleh ketaatan kepada kehendak Bapa-Nya.
Ia tergantung di sana menanggung dosa umat-Nya. Ia dikutuk, dikhianati oleh
orang-orang yang Ia ciptakan. Dan Ia ditinggalkan oleh Tuhan.
Kemudian, kebisuan
tersebut dipecahkan oleh gemuruh murka Tuhan yang sangat menggetarkan. Dengan
kata-kata cerita Abraham tersebut, Sang Bapa mengambil pisau-Nya dan
menyembelih “Putra-Nya, Putra Tunggal-Nya, yang Ia kasihi”. Dan perkataan nabi
Yesaya tergenapi:
“Sesungguhnya, dia telah menanggung penyakit dan penderitaan kita, dia telah memikulnya, tetapi kita menganggap dia kena kutuk, dihajar dan didera Tuhan. Namun, dia ditikam karena pemberontakan kita, diremukkan karena kejahatan kita. Ganjaran demi keselamatan kita menimpa atasnya, dan melalui bilurnya dia telah menjadi kesembuhan bagi kita. Namun TUHAN berkehendak untuk meremukkannya, membuatnya sakit. Sekiranya dia menaruh jiwanya sebagai persembahan penghapus salah, dia akan melihat benihnya, dia akan memperpanjang hari-harinya, dan dalam tangannya kehendak TUHAN akan berhasil.” (Yes. 53:4-5,10)
Layar diturunkan sebagai
akhir cerita pada saat seorang Putra disembelih dan Mesias yang disalib. Tidak
seperti halnya Ishak, di sana tidak ada seekor domba jantan yang akan mati
menggantikan-Nya. Dialah “Anak Domba Tuhan” itu sendiri yang “satu kali saja
dikorbankan akan menanggung dosa orang banyak.” Tuhan adalah yang menyediakan
Dia bagi penebusan umat-Nya. Ia adalah penggenapan dari nubuat yang berkaitan
dengan Ishak dan domba jantan yang hanya merupakan bayangan-bayangan saja.
Di dalam Dia, bukit
Golgota dinamakan kembali “Yahweh-Yireh” atau “TUHAN akan menyediakan.” Dan
ungkapan yang penuh dengan iman percaya tersebut masih tetap hingga sekarang,
”Di Gunung Tuhanlah akan tersedia”. Golgotalah gunung tersebut, dan
keselamatanlah yang disediakan. Jadi, Orang
percaya yang mengerti berteriak, ”Tuhan, Tuhan, Aku tahu bahwa Engkau
mengasihiku karena Engkau tidak menahan Putra-Mu, Putra Tunggal-Mu, yang Engkau
kasihi, dari aku.”
Sesungguhnya merupakan
suatu ketidakbenaran bagi hal-hal yang benar-benar terjadi di bukit Golgota.
Kepedihan Salib sesungguhnya sering diabaikan oleh hal-hal yang bersifat lebih
romantis dan dijadikan suatu pokok yang kurang berkuasa dan kurang bermakna.
Sering juga diceritakan bahwa Bapa memandang ke bawah dari surga dan
menyaksikan penderitaan yang Ia timpakan atas Putra-Nya karena perbuatan tangan
manusia yang jahat, dan Dia memperhitungkan penderitaan jasmani itu sebagai
pembayaran atas dosa-dosa kita.
Ini adalah pemberitaan
yang sangat buruk! Yesus Kristus memenuhi keadilan Tuhan, bukan karena
kekuatan-Nya menanggung penderitaan jasmani yang disebabkan oleh tangan-tangan
manusia, melainkan karena ketabahan dan kematian-Nya pada saat menanggung murka
Tuhan saja. Apa yang telah dilakukan-Nya lebih dari sekadar kayu salib,
pakupaku, mahkota duri, dan lembing bagi pembayaran dosa.
Orang percaya
diselamatkan bukan karena apa yang manusia telah lakukan kepada Yesus Kristus
di atas Salib, melainkan karena apa yang Tuhan telah lakukan kepada-Nya! Tuhan
menyalibkan Putra-Nya di bawah kekuatan penuh murka-Nya terhadap kita. Sangat
jarang kebenaran ini dijelaskan sedemikian terangnya dalam pemberitaan Injil
yang luar biasa!
Disadur dari http://www.sastra-hidup.net/injil-keselamatan-surga/send/8-injil-keselamatan-surga/73-uniknya-makna-salib-yesus-kristus-paul-washer/
Posting Komentar untuk "Refleksi Paskah - Renungan Harian Kristen; Yesaya 53:4-6 "Yesus Mati Di Bawah Murka Tuhan" Oleh Paul Washer"