Tokoh Misionaris Kristen Dunia; John Williams "Harga Yang Harus Dibayar"
Kehidupan Yang Diubah
John
Williams dilahirkan pada tahun 1796 dekat kota London, ibu kota kerajaan
Inggris. Pada waktu ia berusia 14 tahun, orang tuanya membuat kontrak dan
menyerahkan John Williams kepada Bapak Tonkin, pemilik toko dan pengusaha logam
dan besi. Rencana mereka agar John belajar selama lima tahun mengenai urusan
toko dan pandai besi. Hal ini dilakukan oleh orang tuanya, karena mereka
melihat akan kemampuan John dalam banyak hal dan juga untuk bekal hidupnya
kelak di kemudian hari. Tetapi mengenai masa depan John, sesungguhnya hanya
Tuhan yang tahu dan tangan Tuhan ada atas kehidupannya.
Selama
belajar, John Williams tinggal bersama keluarga Tonkin. Keluarga ini sungguh
mengashi Tuhan Yesus dan ketika John berusia delapan belas tahun Tuhan memakai
Nyonya Tonkin secara khusus untuk menolongnya. Nyonya Tonkin melihat bahwa
akhir-akhir ini John tidak begitu senang ikut ke gereja. la lebih tertarik
kepada teman-temannya yang mengundang John untuk minum-minuman keras bersama mereka sampai mabuk.
Pada
malam tanggal 30 Januari l814, saat Nyonya Tonkin keluar dari rumah untuk pergi
ke persekutuan, ia melihat John berdiri dengan gelisah di bawah terang lentera.
Apa yang sedang dilakukannya? John rupanya sedang menunggu teman-temannya yang
tidak kunjung datang. “John, mari ikut saya ke gereja!” ajak Nyonya Tonkin
dengan ramah. “Ada pembicara khusus malam ini.”
Akhirnya
John dengan setengah hati ikut juga ke gereja. Namun firman Tuhan yang
disampaikan malam itu sungguh menusuk hatinya. “Apa gunanya seorang memperoleh
seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Matius 16:26). Malam itu John
Williams bertobat dan sejak saat itu ia sangat mengasihi Tuhan Yesus sampai
akhir hidupnya.
Panggilan
Untuk Memberitakan Injil
Dalam
abad kesembilan belas, orang Kristen di Eropa sudah mulai terbuka mata
rohaninya untuk melihat tanggung jawab mereka dalam memberitakan Injil kepada
orang yang belum pernah mendengarnya. Memang, William Carey pernah mendirikan
Yayasan Misi pertama dan orang Kristen di Inggris mendengar mengenai pelayanan
misi di India.
Tetapi
John Williams yang baru bertobat itu sangat tertarik dengan berita mengenai
orang-orang yang tinggal di Kepulauan Pasifik Selatan yang terletak di sebelah
Timur Australia dan Irian Jaya. Tuhan berbicara dalam hatinya, dan John
Williams mengerti bahwa ia sendiri akan pergi memberitakan Injil kepada mereka.
Dua
tahun kemudian ketika John Williams berusia dua puluh tahun, ia diutus oleh
London Mission Society bersama istrinya yang berusia sembilan belas tahun.
Pasangan muda itu berangkat dari Inggris dengan kapal “Harriet” pada tanggal 30
September 1816 dan tiba di Kepulauan yang sudah lama didoakannya itu pada
tanggal 16 Nopember 1817. Berarti perjalanan mereka lebih dari pada satu tahun!
Mereka
mendarat di pulau Tahiti, salah satu di antara banyak Kepulauan Pasifik
Selatan. Hati mereka berdebar-debar. Dari permulaan John Williams yakin bahwa
ia tidak akan tinggal dan bekerja dalam satu pulau saja, tetapi mengunjungi
sebanyak mungkin pulau dan memberitakan Injil kepada suku-suku di sana. Namun
John dan Mary Williams lebih dahulu harus memilih satu pulau untuk belajar
bahasa dan mendapatkan teman yang ingin mendengar tentang Tuhan Yesus.
Tuhan
memimpin mereka ke pulau Raiatea. Kepala sukunya bernama Tamatoa. la menyambut
keluarga Williams dengan baik dan menyetujui untuk mereka tinggal di pulaunya
serta membangun sebuah rumah. Dalam waktu singkat John Williams sudah bisa
menguasai bahasa mereka, sehingga ia dapat menjelaskan firman Tuhan dalam bahasa itu.
Penduduk pulau Raiatea duduk pada lantai rumah John dan Mary dan mendengar
dengan sungguh-sungguh. Mereka bersedia membuang patung-patung berhala dan
ingin belajar berdoa dan percaya kepada Tuhan Yesus yang mengasihi mereka.
Orang-orang
Raiatea yang baru percaya itu sangat bersemangat untuk memberitakan Injil ke
pulau-pulau lain, karena John Williams mengajar mereka bahwa seperti dia datang
dari Inggris untuk membawa Injil kepada mereka, sekarang sudah menjadi
kewajiban mereka untuk memberitakannya kepada penduduk pulau lain. Tetapi
bagaimana sampai ke pulau lain kalau tidak ada perahu?
Kapal
yang mengantarkan John dan Mary Williams sudah berangkat lagi sedangkan perahu
milik penduduk setempat terlalu kecil dan tidak kuat untuk berjalan jauh.
Untung John Williams telah belajar banyak di bengkel Bapak Tonkin. Bersama
orang Raiatea John membuat sebuah perahu yang cukup besar dari bahan-bahan yang
terdapat di pulau itu, supaya kelak mereka juga dapat membuat perahu sendiri.
Betapa bangganya waktu perahu hasil jerih payah mereka yang pertama dapat
berlayar tanpa kemasukan air.
Tuhan
Membuka Jalan Untuk Pergi Ke Pulau Lain
John
Williams dan istrinya selalu berdoa untuk penduduk pulau lain yang belum mereka
kenal. Tuhan melihat kerinduan hati mereka dan membuka jalan untuk pergi ke
pulau-pulau lain. Pada suatu hari, sebuah perahu kecil mendekati pantai mereka.
John Williams menyambut dua bapak yang keluar dari perahu itu dengan ramah.
Ternyata mereka adalah kepala suku dari pulau Rurutu, 350 mil jauhnya dari
pulau Raiatea. Mereka datang untuk mencari pertolongan karena di pulau itu
sedang terjangkit wabah penyakit yang menyebabkan banyak orang meninggal.
Tetapi
karena tidak ada kapal lagi, mereka harus tinggal di pulau Raiatea selama tiga
bulan dan belajar membaca serta menulis bersama penduduk setempat. Mereka juga
mendengar tentang Tuhan Yesus yang datang untuk membebaskan manusia dari segala
dosa dan penderitaan. Akhirnya mereka percaya kepada Tuhan Yesus dan bertobat.
Hidup baru orang Raiatea sangat berkesan di hati kedua bapak dari Rurutu itu
sehingga dalam hati mereka ada kerinduan supaya pulau mereka juga dapat
menerima guru yang mengajar mereka.
John
Williams yang melihat kerinduan mereka memanggil semua orang Kristen baru di
Raiatea dan menantang mereka, siapa yang bersedia ikut ke pulau Rurutu untuk
mengajar penduduk di sana. Dua bapak bersedia ikut ke sana kalau Tuhan membuka
jalan.
Apa
yang terjadi? Tepat waktu itu sebuah kapal melewati pulau Raiatea dalam
perjalanan menuju Inggris. Kapten kapal itu bersedia untuk membawa dua kepala
suku kembali ke pulau Rurutu bersama dua bapak yang mau menjadi guru Injil di
sana. la juga memberi ijin untuk membawa perahu buatan penduduk Raiatea dalam
kapalnya yang besar itu, supaya dua bapak dari Raiatea nanti dapat pulang
kembali.
Dengan
hati yang penuh sukacita John Williams melihat kedua orang utusan yang pertama
berangkat ke tempat yang Tuhan sediakan. Tiga bulan kemudian kedua bapak utusan
itu kembali dengan membawa kabar yang baik. Semua penduduk pulau Rurutu sudah
membuang patung-patung mereka dan mau percaya kepada Tuhan Yesus. John Williams
bersyukur. Tanpa pertolongan seorang utusan Injil dari barat, Injil dapat
berakar di Rurutu. Hal ini membuatnya makin bersemangat untuk mengajar semua
orang yang baru percaya di Raiatea supaya mereka dapat diutus sebagai pemberita
Injil ke pulau-pulau lain.
Tantangan
Dan Hambatan Datang Bergantian
Papeiha
dan Vahapata adalah dua di antara beberapa orang Kristen yang bersedia
meninggalkan pulaunya. Mereka pergi ke pulau Aitutaki untuk memberitakan Injil.
Waktu mereka mendarat, mereka hampir dibunuh oleh penduduk setempat. Semua
pakaian dan barang-barang lain milik mereka dicuri oleh penduduk setempat.
Tetapi Papeiha dan Vahapata tidak membalas dendam, juga mereka tidak cepat
pulang melainkan terus tinggal di Aitutaki, Melihat sifat yang mengherankan
itu, orang-orang di sana terbuka untuk mendengar Firman Tuhan.
Pengalaman
yang mengharukan itu baru didengar oleh John Williams setahun kemudian waktu ia
dapat mengunjungi Papeiha dan Vahapata. Waktu itu semua penduduk pulau mau
percaya, sehingga sebuah gereja didirikan di pulau Aitutaki.
Tetapi
tidak semua utusan Injil berhasil seperti Papeiha dan Vahapata. Ada juga yang
ditolak sehingga harus melarikan diri sebelum dibunuh.
Berlayar Ke
Rarotonga
Sudah
lama John Williams mendengar tentang sebuah pulau yang besar bernama Rarotonga. la belum pernah ke
sana, tetapi dengan kapal baru itu John Williams berani mengunjunginya. Kali
ini Mary Williams ikut serta dalam perjalanan. Juga sejumlah orang Kristen dari
Raiatea serta dua orang buangan dari pulau yang akan dituju, yang sangat rindu
untuk pulang ke Rarotonga. Dalam perjalanan, mereka hampir putus asa. Semua
perbekalan hampir habis tetapi pulau yang dituju belum nampak juga.
“Marilah
kita berjalan terus selama satu jam saja,” kata John Williams; “Kalau dalam
jangka waktu satu jam belum nampak pulau Rarotonga, kita akan kembali.” Dalam
jam itu orang buangan dari sana disuruh empat kali mendaki tiang layar. Pada
keempat kalinya hanya beberapa menit sebelum jam itu lewat, mereka berseru:
“Kami melihat pulau kami dari jauh!” Dengan semangat baru mereka meneruskan
perjalanan sampai ke pantai pulau itu.
Tetapi
kapal besar mereka tidak bisa berlabuh karena tidak ada pelabuhan di sana.
Hanya beberapa orang Kristen mendarat di pantai itu dengan perahu kecil, di
antaranya Papeiha yang sudah berpengalaman. Meskipun mereka tidak diterima
dengan baik, Papeiha dan istrinya memberi isyarat ke kapal besar, bahwa mau
tetap tinggal di sana. Bersama pasangan guru lain akhirnya mereka ditinggalkan
di Rarotonga. Kapal besar harus berjalan terus tanpa mengetahui nasib mereka.
Dalam hati John dan Mary Williams berdoa agar Tuhan sendiri memenangkan
penduduk pulau itu.
Kunjungan
Keluarga Williams Ke Rarotonga
Selama
empat tahun John Williams tidak bisa ke Rarotango karena ia terpaksa harus
menjual kapal besarnya. Tanpa kapal tidak mungkin mereka dapat melakukan
perjalanan yang jauh itu. Tetapi pada tahun 1827 kapal “Haweis” dari Inggris
lewat untuk mengantarkan keluarga pendeta utusan baru ke Rarotonga. Bapak dan
Nyonya Williams dengan senang hati ikut ke sana. Mereka rindu sekali untuk bertemu lagi
dengan Papeiha dan mendengarkan apa yang terjadi padanya selama empat tahun
itu.
Apa
yang mereka temui? Waktu kapal “Haweis” mendekati pantai Rarotonga, Papeiha
membawa rombongan untuk menjemput Bapak dan Ibu rohaninya. Rombongan itu
terdiri dari orang Kristen yang baru diajar oleh Papeiha dan teman-temannya.
Betapa terhibur John dan Mary Williams. Mereka mendarat dan kapal “Haweis”
berjalan terus.
Pada
hari-hari pertama mereka memeriksa keadaan di Rarotonga. Ternyata pulau itu disiksa
oleh banyak tikus yang besar dan ganas. Keluarga Williams bersama penduduk
berusaha untuk memberantasnya. Empat tahun yang lalu Papeiha membawa kucingnya
bernama Tom. Tom membunuh banyak tikus, tetapi akhirnya ia dibunuh. Karena
penduduk Rarotonga yang belum pernah melihat seekor kucing menganggap dia
sebagai roh jahat. Sekarang semua setuju untuk mengusahakan kucing-kucing dari
pulau lain, supaya Rarotonga tertolong. Mereka juga membawa kambing-kambing,
supaya makanan lebih bergizi. Banyak hal yang praktis yang dikerjakan oleh
keluarga Williams.
Tetapi
akhirnya timbul pertanyaan: Bagaimana cara pulang ke Raiatea? Tidak ada kapal
lagi. John Williams berdoa dan beriman dalam keadaan darurat itu. Dengan alat
serta bahan yang sangat sederhana John Williams berusaha membuat kapal yang
cukup besar. Sekali lagi ia bersyukur akan segala pengalaman yang baik dalam
bengkel Bapak Tonkin. Ya, Tuhan sungguh mempersiapkan hamba-Nya jauh-jauh
sebelumnya. Dalam jangka waktu dua bulan, kapal sudah jadi, meskipun agak kasar.
Kapal itu diberi nama “Pembawa Damai” dan dalam kapal itu John dan Mary
Williams pulang ke Raiatea.
Kapal
“Pembawa Damai” juga membawa John dan Mary Williams ke sebuah pulau yang lebih
jauh lagi jaraknya yaitu ke Samoa. Dari sana John masih ingin berjalan terus
sampai ke pulau-pulau Hebriden Baru. Di situ tinggal suku-suku yang sangat
kejam dan sudah banyak membunuh orang yang datang ke pantai mereka. Mary
Williams senang sekali bahwa perjalanan itu belum terlaksana karena mereka
terlebih dahulu akan pulang cuti ke Inggris. Di Inggris mereka menyaksikan
kepada orang Kristen di sana tentang apa yang Tuhan sudah lakukan di Kepulauan
Pasifik Selatan dan mereka minta tolong untuk mendapat sebuah kapal yang baru.
Pengorbanan
John Williams
Dalam
tahun 1838, sesudah empat tahun di Inggris, John dan Mary Williams kembali ke
tempat pelayanan mereka dengan kapal “Camden” yang menjadi kapal mereka. Betapa
senang hati John Williams. Langsung ia membuat rencana untuk pergi mengunjungi
pulau-pulau Hebriden Baru. Kali ini Mary Williams takut sekali mendengar
rencana suaminya. la tidak setuju bahwa suaminya pergi ke sana. Tetapi John
Williams tidak mendengarkan suara istrinya. Kalau penduduk di pulau-pulau itu
sangat kejam, itu justru menjadi sebab untuk membawa mereka supaya mengenal
Kristus.
Pada
tanggal 4 Nopember 1839 John Williams berpisah dengan istrinya. la berangkat
bersama sekelompok orang Kristen lain. “Jangan mendarat ke pulau Eromanga,
jangan ke Eromanga!” pesan istrinya beberapa kali. Dia mendengar bahwa penduduk
Eromanga paling terkenal karena kekejaman mereka.
Pada
tanggal 20 Nopember 1839 kapal “Camden” sampai ke pulau Eromanga. Penduduk
ramai-ramai berkumpul di pantai seolah-olah hendak menyambut mereka, tetapi tidak
terlihat dalam kumpulan itu anak-anak ataupun wanita sehingga ada yang merasa
bahwa itu pertanda mereka akan membunuh orang-orang asing.
Tetapi
John Williams tidak takut. la mendarat dengan perahu pertama kemudian duduk di
antara orang laki-laki dan membagikan pakaian kepada mereka. Tiba-tiba ada yang
mengancam, ternyata mereka hanya pura-pura ramah. John Williams mencoba lari
kembali ke perahu tetapi ia jatuh dan langsung mati tertikam oleh penduduk
Eromanga yang ia kunjungi untuk membawa kabar baik kepada mereka.
Persembahan
Anak-Anak Sekolah Minggu Untuk Misi
Cerita
ini tidak berakhir dengan kematian John Williams yang baru berusia empat puluh
lima tahun ketika ia dipanggil pulang oleh Tuhan. Bukan hanya Mary Williams dan
semua orang Kristen di pulau Raiatea, Rurutu, Rarotonga dan Samoa yang menangisi
John Williams. Jemaat-jemaat di
Inggris yang mengutus John dan Mary pun menangisinya. Kapal Camden yang membawa
mereka ke Pasifik Selatan, empat tahun kemudian kembali dalam keadaan agak
rusak.
Pada
waktu itu timbul pikiran yang sangat baik: Mengapa tidak menantang anak-anak
Sekolah minggu di Inggris untuk mengumpulkan uang dan membeli kapal lain yang
dapat dinamai “John Williams”? Ternyata pikiran ini mendapat tanggapan yang
baik sehingga banyak anak dari berbagai-bagai gereja membawa uang kecil mereka
dengan sukacita. Dalam jangka waktu satu tahun mereka telah mengumpulkan uang
yang dibutuhkan untuk membeli sebuah kapal yang bagus. Dengan huruf besar
tertulis nama “John Williams” pada haluannya.
Penyambutan
kapal itu di Samoa dan di Raiatea luar biasa indahnya. “John Williams sudah
kembali kepada kami” terdengar seruan penduduk di sana. Anak-anak mengumpulkan
kelapa dan buah-buahan lain untuk menolong membayar bahan bakar untuk kapal
mereka. Waktu kapal John Williams I rusak dan harus diperbaiki di Inggris,
anak-anak Sekolah Minggu mengumpulkan uang lagi.
Dan pada waktu kapal itu tidak dapat
diperbaiki lagi, mereka mengusahakan uang untuk membeli kapal John Williams II.
Hari ini di antara pulau-pulau yang diinjili John Williams seratus lima puluh
lima tahun yang lalu, berjalan kapal kecil yang bernama John Williams VII.
Sampai sekarang anak-anak Sekolah Minggu di Inggris merasa bertanggung jawab
atas kapal mereka.
Disadur dari: JERUSALEM TO IRIAN JAYA by RUTH TUCKER dan https://petrusfsmisi.wordpress.com/2007/10/17/john-williams/
Posting Komentar untuk "Tokoh Misionaris Kristen Dunia; John Williams "Harga Yang Harus Dibayar""