Cerita Inspiratif Kristen Tentang Pelayanan - Hudson Taylor
Tidak ada misionaris lain pada abad XIX sejak rasul Paulus yang memiliki
visi lebih luas dan telah melakukan rencana penginjilan yang lebih sistematis
terhadap wilayah geografis yang luas dari pada Hudson
Taylor. Pandangan-pandangannya diarahkan dalam menjangkau Cina secara
keseluruhan, seluruhnya 400 juta orang dan untuk tujuan akhir itulah ia bekerja
keras meskipun tidak sendirian.
la cakap dalam berorganisasi dan memiiiki kepribadian memikat sehingga
banyak menarik pria dan wanita kepadanya dan juga pada pandangan-pandangannya.
China Inland Mission adalah gagasannya dan penentu irama dari masa depan iman.
Pada masa hidupnya tenaga misionaris di bawah dirinya berjumlah total lebih
dari delapan ratus, dan dalam beberapa dasawarsa setelah kematiannya jumlah itu
terus bertumbuh.
Tetapi Hudson Taylor tidak mengembangkan visinya sendirian. Isteri
pertamanya, Maria; sangat diperlukan dalam menyusun rencana yang dikerjakannya
dan isteri keduanya, Jennie, berada di garis depan dalam melaksanakan
rencananya. Kisah Taylor lebih dari kisah besar seorang pemimpin misi. Ini
adalah kisah cinta, petualangan dan iman yang kokoh kepada Allah, meskipun
bukan kisah sempurna dari seorang kudus yang diciptakan penulis biografi-nya.
Hudson Taylor dilahirkan di Yorkshire, Inggris tahun 1832. Ayahnya adalah
seorang ahli farmasi selain pengkotbah awam Metodis, ia menanamkan dalam pikiran dan hati anak lelakinya
suatu kegairahan akan misi. Sebelum ia mencapai ulang tahunnya yang kelima
Hudson Taylor kecil sudah mengatakan kepada para pengunjung bahwa ia suatu hari
ingin menjadi misionaris, dan Cina adalah wilayah yang menarik minatnya.
Meskipun pembacaan Alkitab keluarga dan doa adalah bagian integral dari
pertumbuhannya, Taylor tidak bertobat sampai ia berusia 17 tahun. Saat itu adalah
musim panas tahun 1849 ketika ibunya sedang pergi untuk kunjungan yang lama ke
seorang teman. Taylor muda sedang di rumah dan membaca kertas-kertas di
perpustakaan ayahnya ketika ia menemukan traktat-traktat religius.
Ia lebih tertarik pada cerita-ceritanya dari pada aplikasi rohaninya, dan
ia mengambil satu dan membacanya di luar. Saat ia membaca ia ditundukkan Tuhan
dalam “keyakinan yang penuh sukacita … terang memancar dalam jiwanya oleh Roh
Kudus … Tak ada satu hal di dunia untuk dilakukan kecuali dengan berlutut dan
menerima Juruselamat dan Keselamatan-Nya, memuji Dia selama-lamanya.” Ketika
ibunya kembali dua minggu kemudian dan ia diberitahu kabar itu, ia tidak
terkejut.
Ia mengisahkan kepadanya bagaimana dua minggu sebelumnya sementara di rumah
temannya, ia tiba-tiba merasakan desakan untuk berdoa bagi keselamatannya, jadi
ia pergi ke ruangannya dan berdoa sampai merasa pasti kalau doanya telah
dijawab Allah.
Sejak saat itu, Taylor mulai memfokuskan tujuan-tujuannya pada pekerjaan
misi di Cina. Meskipun penginjilan adalah motivasi satu-satunya, ia menyadari
pentingnya mendapatkan suatu jalan masuk kepada orang-orang, sehingga pada usia
18 tahun ia memulai pelatihan dalam pengobatan, pertama sebagai asisten dokter
di kota kecil dan kemudian sebagai peserta pelatihan di rumah sakit London.
Selama masa ini, Taylor muda yang bergairah memulai program
penyangkalan diri yang keras sebagai persiapan tambahan untuk pekerjaan misi.
Itu adalah usaha untuk benar-benar hidup berdasarkan iman. Menu makannya tiap
hari kurang mencukupi, satu pound apel (1 kg = 2.2 pound) dan
sepotong roti setiap hari dan kamar lotengnya kosong dari segala kenikmatan
yang biasa dirasakannya. la bahkan menolak untuk menagih gajinya yang sudah
lama tak dibayar kepada majikannya.
Pemikirannya adalah sederhana: “…. ketika saya ke luar dari Cina saya tidak
akan memiliki klaim apapun terhadap siapapun; klaim saya satu-satunya hanyalah
kepada Allah. Karena itu sungguh penting sebelum meninggalkan Inggris perlu
belajar untuk menggerakkan manusia, melalui Allah dengan doa saja.”
Doa saja tidak mempertahankan kesehatan Taylor. Kesehatannya yang telah
lemah menurun dengan menu makannya yang kurang dan kontaknya tiap hari dengan
mayat yang terinfeksi tidak membantu situasinya juga. la terkena “demam yang
menular” serta hampir mengakhiri hidupnya yang masih muda dan memaksanya
menghentikan studinya selama beberapa bulan.
Bagi Taylor, melupakan keperluan fisik lebih mudah dibandingkan melupakan
percintaannya. “Nn. V,” seperti yang disebutkan dalam surat-suratnya, telah
menjadi sasaran ungkapan kasih sayangnya. la adalah seorang guru musik muda,
yang diperkenalkan oleh saudarinya, dan bagi Taylor itu adalah cinta
pertamanya.
Segera setelah pertemuan pertamanya ia menulis kepada saudarinya. “Saya tahu
saya mencintainya. Pergi tanpa dia akan menjadikan dunia terasa hampa.” Tetapi
nona Vaughn tidak memiliki visi untuk Cina. la memandang kegairahan Taylor
untuk misi sebagai suatu khayalan yang segera berlalu, yakin bahwa Taylor tidak
akan mening-galkan dia hanya untuk memenuhi impian liarnya di tanah asing.
Taylor sama yakinnya bahwa nona Vaughn akan mengubah pikirannya dan
mengikuti dia. Dua kali mereka bertunangan, tetapi tiap kali pertunangan itu
putus. Komitmen Taylor kepada Allah ternyata lebih kuat dibandingkan
cintanya terhadap wanita.
Lowongan Taylor untuk pergi ke Cina terbuka tanpa diduga.
Rencana-rencananya untuk menyelesaikan pelatihan medis tiba-tiba terhenti
ketika ada kabar di Inggris kalau Hung, seorang yang mengaku Kristen, telah
menjadi kaisar di Cina.
Prospek bahwa Cina terbuka bagi Injil adalah suatu jawaban doa bagi
direktur-direktur dari Lembaga Penginjilan Cina (CES – Chinese Evangelization
Society), yang mensponsori pelatihan medis Taylor, dan mereka begitu ingin
supaya Taylor segera berangkat. Jadi, pada bulan September 1853, Taylor yang
berusia 21 tahun berlayar ke Cina.
la tiba di Shanghai pada awal musim semi tahun 1854. Itu adalah tempat yang
asing dan menyenangkan bagi seorang Inggris muda yang tidak pernah bepergian
jauh dari kota asalnya Yorkshire. Shanghai adalah kota yang dipenuhi kuil
Budha beratap naga, jalan-jalanan yang sempit penuh gubug di pinggiran, kuli
yang murah, dan wanita berkaki kecil yang taat, dan pria yang berambut ikal
(ekor kuda), dan tempat tinggal internasional yang mewah.
Taylor tinggal di pemukiman internasional sebagai tempat tinggalnya yang
pertama dan segera merasa kesepian. CES adalah suatu organisasi misi yang tak
terorganisasi dengan baik dan tidak ada orang di Cina yang menyambutnya atau
bekerja dengan misionaris muda yang baru direkrut. Banyak misionaris di pemukiman
internasional tetapi mereka memandang rendah kepada seorang pemuda tak
berpendidikan, tak diutus yang memiliki keberanian untuk menyebut dirinya
misionaris.
Segera setelah tiba, Taylor mendapati dirinya menghadapi kesulitan
keuangan. Dukungan uang yang dijanjikan kepadanya tidak segera tiba dan uang
yang dimilikinya hanya sedikit terutama menghadapi harga-harga yang terus
membubung. Impian visi untuk menginjili Cina segera sirna dan ingatan akan masa
kanak-kanaknya di Yorkshire membayangi dirinya, Perasaan rindu tanah asal
memenuhi suratnya: “Oh, saya harap saya dapat mengatakan betapa cintanya, saya
kepada kamu semua.
Cinta yang saya miliki dalam surat saya hampir semuanya terpendam sehingga
surat ini membiarkan saya merasakan kekuatannya. Saya tidak pernah tahu betapa
saya mencintai kamu semua.”Usaha Taylor untuk menguasai bahasa Cina hanya
menambah perasaan depresinya. Bulan-bulan pertamanya tinggal di Shanghai
dipenuhi dengan jam belajar bahasa yang lama, dan ada saat ketika ia takut
tidak pernah menguasai bahasa itu.
Untungnya ia memiliki tempat curahan hati – hobinya bertanam dan
mengumpulkan serangga. Suatu penghiburan yang lebih dalam baginya adalah
imannya kepada Allah. Saat menulis kepada para direktur CES di Inggris ia
memohon: “Berdoalah untuk saya, karena saya tertekan melampaui kekuatan, dan
jika saja saya tidak mendapatkan bahwa Firman Allah itu makin berharga dan
merasakan kehadiran-Nya bersama saya, saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan.”
Setelah beberapa bulan tinggal di pemukiman London Missionary Society,
Taylor sementara waktu pindah ke luar dari pemukiman internasional dan membeli
pondoknya sendiri yang ia gambarkan memiliki “duabelas kamar, pintu tanpa
ujung, lorong yang banyak, akus di mana-mana dan semuanya dipenuhi debu,
kotoran, sampah dan barang buangan.”
Itu hampir sama sekali bukan tempat tinggal yang ideal. Dan lebih buruk
lagi, terjadi perang sipil di dekat situ dan temperatur musim dingin yang
menggigit menembus tembok-temboknya. Setelah beberapa bulan mandiri, ia
bersyukur dapat kembali ke pemukiman internasional.
Taylor tidak pernah merasa bahagia tinggal di antara misionaris lain. Dalam
pandangannya, mereka hidup dalam kemewahan. Tidak ada “tempat di dunia di mana
misionaris lebih dihormati dari pada di Shanghai.” la memandang sebagian besar
dari mereka malas dan memuaskan diri berlebihan dan lebih dari pada itu ia
menganggap misionaris Amerika sebagai “sangat kotor dan vulgar.”
Ia hanya ingin sekali menjauhi mereka terutama dari “kritik, fitnah dan
komentar mereka yang kasar, sehingga kurang dari satu tahun
setelah ia tiba di Cina ia mulai melakukan perjalanan ke pedalaman. Dalam salah
satu perjalanan ini ia menelusuri sungai Yangtze dan berhenti di hampir enam
puluh tempat pemukiman yang tidak pernah dikunjungi sebelumnya oleh misionaris
Prostestan.
Itu adalah saat yang menggairahkan baginya, kadang-kadang sendirian dan
kadang-kadang bersama teman, tetapi yang lebih penting adalah bahwa itu
merupakan pendidikan yang mencerahkan pikiran serta menambah bebannya untuk
Cina pedalaman.
Misionaris telah menjadi pandangan umum di Shanghai, dan orang-orang Cina
hanya sedikit memperhatikan mereka. Di pedalaman, situasinya berbeda sama
sekali. Pada perjalanan awalnya, Taylor mendapati bahwa ia merupakan
pemandangan baru dan orang-orang jauh lebih tertarik pada pakaian dan
perilakunya dari pada pesannya. Baginya hanya ada satu penyelesaian yang
masuk akal: menjadi orang Cina, mengadopsi pakaian dan kultur Cina.
Misionaris-misionaris Cina telah lama mengikuti cara-cara Cina dan telah
melayani dengan sukses besar, tetapi para misionaris Protestan menganggap hal
itu sebagai cara radikal yang jauh dari metode-metode misionaris yang dapat
diterima. Bagi mereka, kekristenan bukan suatu yang “resmi” kecuali dilakukan
dengan kultur Barat.
Menjadi orang Cina adalah suatu cobaan rumit bagi Taylor muda yang berambut
pirang dan dibesarkan di Yorkshire. Pantalon (celana yang lebar bawahnya)
longgar yang “dua kaki terlalu lebar di sekitar pinggang,” dan “jubah sutera
yang berat” dan juga “sepatu bertelapak datar” dengan jari-jari yang muncul ke
luar sebenarnya sudah merupakan per-cobaan berat, tetapi bergabung dengan
orang-orang Cina yang berambut hitam dan berambut ikal sangatlah penting.
Usaha pertama Taylor untuk menghitamkan rambutnya menjadi gagal. Ujung atas
rambutnya menghantam botol amonia dan membakar kulitnya dan hampir membutakan
matanya. Untungnya, ada seorang dokter misionaris yang dekat dan dalam waktu
satu minggu Taylor telah pulih kembali dan dapat ke luar dan bekerja lagi.
Meskipun memperoleh pengalaman buruk, Taylor tetap melanjutkan
rencana-rencana-nya dan “menyerahkan rambutnya untuk dikonde di atas oleh
tukang cukur” dan menghitamkan rambutnya.
Tetapi pengalaman itu tidak menyenangkan. la mendapatkan “sungguh
menyakitkan ketika untuk pertama kalinya kepala dicukur sehingga kulit terasa
peka ketika panas menyengat,” dan “penerapan cairan penghitam rambut selama
lima dan enam jam berikut-nya tidak membantu mengurangi iritasinya.” Tetapi
hasil akhirnya benar-benar berharga. Dengan beberapa “rambut palsu yang
ditanam” bersama rambutnya untuk membentuk rambut ikal/ekor kuda dan dengan
beberapa kacamata Cina, Taylor bercampur dengan kerumunan orang; “Kamu tidak
akan mengenal saya jika kamu menemui saya bersama orang Cina lain … saya tidak
diduga sebagai orang asing.”
Meskipun Taylor merasa senang dengan penampilan barunya, sebagian besar rekan misionarisnya kurang
terkesan. la memalukan bagi mereka dan segera menjadi bahan ejekan. Bahkan
keluarganya sendiri terkejut dengan berita itu. Tetapi Taylor pernah berpikir
dua kali, ia tidak membiarkan mereka tahu, dan kebiasaannya memakai pakaian dan
budaya Cina menjadi tanda khas dirinya.
Bukan hanya ia dapat bergerak lebih bebas, tetapi pakaiannya juga lebih
cocok dengan iklim dari pada pakaian barat. Salah seorang rekan keliling
Taylor bernama William Burn begitu terkesan dengan kemudahan dan kenyamanan
Taylor sehingga ia sendiri menggunakan pakaian Cina.
Pakaian Cina bukan berarti menyelesaikan semua masalah Taylor saat bekerja
di pedalaman. Saat ia bepergian dan membagikan perawatan medis ia mendapati
dirinya bersaing dengan dokter lokal, dan akibatnya ia diusir dalam beberapa
kesempatan. Bepergian juga suatu risiko.
Dalam suatu kesempatan, pelayan yang digaji Taylor untuk membawa barang-barangnya
melarikan uang dan segala milik Taylor dan memaksa dia kembali ke Shanghai di
mana ia bergabung dengan rekan misionaris sampai ia menerima sumbangan pribadi
lewat surat dari Inggris – empat puluh poundsterling sesuai jumlah yang dicuri.
Taylor tidak mungkin dapat bertahan di Cina pada tahun-tahun awalnya tanpa
bantuan sumbangan pribadi. Meskipun mengikuti pakaian dan kultur Cina dapat
mengurangi pengeluarannya secara drastis, dukungan dari CES tak menentu dan
jauh dari mencukupi kebutuhannya sehingga ia menuduh Lembaga itu “bertindak
memalukan” dalam mendukung dia dan misionaris lain.
Pada tahun 1857, setelah mengalami hubungan yang kurang baik dengan CES, ia
ke luar. Sejak saat itu ia berdiri sendiri, dan masih mengembara tanpa tempat
tinggal di pedalaman Cina. “tidak menganggur, tetapi tanpa tujuan,” seperti
yang dikatakan oleh seorang misionaris tentang dirinya.
Kesepian pada masa-masa awal di Cina mengganggu diri Taylor. la sangat
merindukan seorang isteri. Meskipun nona Vaughn menolak pergi bersamanya ke
Cina, tetapi ia tidak dapat melupakannya; “Saya senang jika kamu memiliki
berita tentang nona Vaughn. la mungkin mendapatkan seorang suami yang lebih
kaya dan tampan tetapi saya bertanya apakah ia mendapatkan orang yang lebih
saleh dari pada saya.”
Akhirnya setelah semua harapan pudar, Taylor memalingkan
perhatiannya kepada Elizabeth Sissons, seorang wanita muda lain yang dikenalnya
di Inggris. la menulis kepadanya dan meminta potongan rambutnya, dan seteiah ia
menerimanya, ia tidak menunda lagi untuk mengajaknya menikah. Elizabeth
menerima, tetapi itu hanya pertunangan yang pendek.
Mungkin kabar tentang pakaian Cina dan rambut ikalnya telah menjadikan dia
berhati-hati, tetapi apapun alasannya, ia tidak dapat menepati janjinya. la
tidak menjawab surat-surat Taylor dan untuk sesaat Taylor merenung untuk
“melupakan kegiatan misinya,” dan kembali ke Inggris untuk mendekati dia.
Saat itu adalah masa depresi dan ketidakpastian ketika Taylor tiba di
Ningpo sebuah kota pelabuhan di selatan Shanghai, dan bertemu Maria Dyer. Untuk
pertama kalinya tidak ada daya tarik romantis. Taylor masih memikirkan
Elizabeth dan Maria masih belum yakin dengan orang Inggris berjubah Cina dan
berambut ikal itu. la memiliki perasaan bercampur aduk: “Saya tidak dapat mengatakan
saya mencintai dia saat itu, tetapi saya tertarik kepadanya dan tidak dapat
melupakan dirinya.
Saya melihat dirinya dari waktu ke waktu dan minat ini berlanjut. Saya
tidak memiliki alasan yang baik untuk memikirkan bahwa hal ini dibalas; ia sangat
rendah hati dan tidak pernah melakukan pendekatan apapun.” Jika Taylor
kelihatan segan menunjukkan perasaan apapun bagi Maria, itu karena ia masih
menunggu surat dari Elizabeth dan tanpa diragukan ia takut terhadap penolakan
ketiga ketika ia menunjukkan minat pada Nn. Dyer.
Tetapi dalam catatan hariannya ia menggambarkan Maria sebagai “ciptaan
manis yang terkasih, memiliki semua kebaikan dari Nn. S dan lebih banyak lagi
juga. la adalah sesosok gadis yang berharga, memiliki kualitas pribadi yang
baik dan memiliki kegairahan tak kenal lelah untuk melakukan kebaikan bagi
orang-orang miskin ini. Ia adalah seorang lady juga …” Mengenai “hal
yang sangat nyata” dan “pandangan yang jelas pada matanya,” Taylor yang gelisah
merasa bersyukur: “Saya merasakan hal itu memberikan kesempatan bagi saya
memenangkan dirinya.”
Maria Dyer lahir di Cina dari orang tua misionaris. Ayahnya meninggal
ketika ia masih kecil dan ibunya meninggal beberapa tahun kemudian. Setelah
itu, Maria dan saudara lelaki dan perempuannya dikirim pulang ke London untuk
pendidikan mereka; tetapi bagi Maria dan saudarinya Cina adalah rumah mereka.
Mereka kembali ketika mereka pada usia remaja akhir untuk melayani sebagai
guru di sekolah perempuan Nona Mary Ann Aldersey. Nona Aldersey adalah misionaris
wanita pertama, dan ia membuka sekolah perempuan pertama di negara yang
didominasi pria. la adalah wanita yang benar-benar luar biasa, yang
pengabdiannya kepada Tuhan dan misi tidak pernah dipertanyakan, tetapi dalam
hubungan asmara antara Hudson Taylor dan Maria Dyer ia memainkan peran sebagai
perusak kesenangan, dan sayangnya itulah peran yang ia ingat.
Pada bulan Maret 1857, beberapa bulan setelah Taylor dan Maria mengenal
dekat, Taylor melakukan pendekatan pertamanya dan seperti gayanya yang biasa
itu adalah pendekatan yang berani sebuah surat yang berisi proposal pernikahan.
Seorang teman bersama mereka membawa surat itu kepada Maria sementara ia sedang
mengajar di sekolah.
Secara diam-diam Maria berharap surat itu berasal dari Taylor, tetapi ia menunggu
sampai kelas itu selesai sebelum membukanya dan menemukan: “Saya kemudian
membuka surat saya dan membaca ketertarikannya pada saya, dan bagaimana ia
percaya Allah telah memberikan kepadanya cinta kepada saya yang ia rasakan.
Saya hampir tidak mempercayai itu suatu realitas. Kelihatannya doa saya sudah
terjawab … ia meminta saya menyetujui pertunangan dengan dirinya.”
Taylor terus memohon kepada Maria untuk “tidak mengirim penolakan yang
terburu-buru” dengan secara tidak langsung mengatakan kalau hal itu akan
mengakibatkan “kesengsaraan yang mendalam” bagi dirinya. Tetapi tentu saja”
dengan mempertimbangkan perasaan Maria terhadap dirinya, rasa ketakutannya
tidak beralasan. Tidak. Maria mengirim sebuah “penolakan tergesa-gesa”. “… Saya
harus menjawab suratmu sebagaimana yang saya baca menurut petunjuk Allah. Dan
kelihatannya sudah kewajiban saya menolak proposalmu….”
Mengapa? Bagaimana guru misionaris muda ini secara tanpa malu memalingkan
dirinya dari pria impiannya – suami yang telah ia doakan? Di sinilah peranan
Nona Aldersey yang sangat mendominasi dan melindungi (orang yang dikasihi dan
dihargai Maria) memasuki kisah tersebut.
Ia mewakili remaja putri yang masih takut-takut itu dan mendiktekan
tanggapannya dan setelah semuanya selesai, ia menulis kepada paman dan wali
legal Maria di Inggris dan secara tegas menyebutkan alasan penolakannya pada
Hudson Taylor. Penolakan-penolakannya? la tidak berpendidikan, tidak diutus,
tidak berhubungan (dengan lembaga misionaris), dan tidak tahu adat. Dan jika,
itu belum cukup, ia pendek (Maria tinggi), dan ia memakai pakaian Cina.
Meskipun Taylor ditolak, ia “dengan kuat menduga bahwa halangan terletak
pada Nona Aldersey,” dan ia menolak untuk menyerah. Pada bulan Juli 1857,
beberapa bulan setelah mengirim surat proposalnya, Taylor secara diam-diam
mengatur suatu “wawancara” dengan Maria di tengah kehadiran dari misionaris
lain.
Mereka berjabat tangan, saling menyatakan pendapat, berdoa, dan kemudian
berpisah – suatu pertemuan yang kelihatannya tidak membahayakan, tetapi
ternyata juga menimbulkan pertikaian di antara komunitas misionaris yang
biasanya tenang. Nona Aldersey mengancam Taylor dengan tuntutan hukum; dan
Pendeta W.A. Russell, pendukungnya yang paling kuat, menyarankan supaya Taylor
“dicambuk.” Beberapa misionaris lebih tenang dalam reaksinya dengan menyatakan
supaya Taylor kembali ke Inggris dan melanjutkan pendidikannya di sana supaya
ia berharga bagi Maria. Tanggapan Maria cukup fasih: “Saya akan menunggu jika
ia pulang ke negeri asal untuk meningkatkan kemampuannya.
Tetapi jika ia meninggalkan pekerjaannya untuk
mendapatkan nama guna menikahi saya? Jika ia mencintai saya lebih
dari pada Yesus ia tidak layak untuk saya – jika ia meninggalkan
pekerjaan Tuhan untuk kehormatan dunia, saya tidak ingin berhubungan
dengan dia lagi.”
Sayangnya, pemikiran logis itu kalah. Maria harus tinggal dalam tahanan
rumah, dan Pendeta Russell tidak mengijinkan ia berkomunikasi sampai ia
“memberikan bukti pertobatan.” Dalam sebuah surat ke negara asalnya, Taylor
menulis: “Maria yang terkasih dituduh sebagai maniak, fanatik, tak senonoh,
berpikiran lemah, terlalu mudah diombang-ambingkan, terlalu keras kepala dan
segala sesuatu yang buruk.”
Bulan-bulan berlalu dengan hanya satu pertemuan pendek di bulan Oktober.
Kemudian pada pertengahan November,
dengan bantuan seorang yang bersimpati, dua kekasih itu bertemu secara
diam-diam dan sungguh suatu pertemuan yang mengesankan! Selama enam jam
menjadi kegembiraan yang luar biasa. Mereka diam-diam bertunangan, dan
berangkulan dan berciuman dan berdoa dan berbicara dan saling berciuman lagi –
tanpa harus minta maaf. Tulis Taylor, “Saya tidak berapa lama lagi bertunangan
tanpa berusaha mengejar jumlah ciuman yang harus saya lakukan
dalam beberapa bulan terakhir.”
Di negeri asal, di Inggris, William Tarn, paman dan penjaga Maria berada
dalam kebingungan. la telah menerima surat bukan hanya dari Nona Aldersey
tetapi juga dari Maria dan dari Taylor sendiri. Ribuan mil jauhnya, Tarn berada di luar perselisihan itu, dan
pemikiran sehat mendorong dia untuk dengan tenang memeriksa siapa Hudson Taylor
itu. Ia begitu terkesan dengan laporan-laporan yang didapat sehingga ia memberikan
persetujuan tanpa syarat terhadap pertunangan itu, dan pada saat yang sama
“menyalahkan”, “kurangnya kebijakan penghakiman” Nona Aldersey. Surat-suratnya
tiba pada bulan Desember, dan pada bulan berikutnya, tanggal 20 Januari 1858,
Hudson Taylor dan Maria menikah.
Maria adalah wanita yang sangat diperlukan Taylor untuk menghaluskan bagian-bagian
kasar dari kepribadiannya dan membantu memfokuskan semangat dan
ambisi-ambisinya dan sejak permulaan pernikahan mereka itu adalah suatu
kemitraan.
Mereka tetap di Ningpo selama tiga tahun di mana selama itu Taylor secara
tanpa diharapkan masuk ke dalam profesi pengawasan rumah sakit lokal, suatu
posisi di luar ke mampuannya. Melalui pengalaman itu ia yakin bahwa ia
memerlukan pelatihan medis lebih jauh, meskipun keputusan meninggalkan Cina
tidaklah mudah.
Pada tahun 1860 keluarga Taylor tiba di Inggris untuk mudik panjang, suatu
mudik yang akan memiliki beberapa tujuan. Baik Hudson dan Maria telah menderita
masalah kesehatan yang parah, dan itu adalah saat bersantai dan memulihkan
diri. Itu juga waktu untuk pendidikan lebih lanjut.
Taylor mendaftar di rumah sakit London di mana ia menyelesaikan pelajaran
Kimia Praktis, pelajaran kebidanan, dan diploma untuk keanggotaan ahli bedah di
Royal College. Prioritas lain selama mudik adalah penyelesaian terjemahan. Yang
ikut menyertai mereka ke Inggris
adalah seorang asisten Cina dan bersama dia dan misionaris lain, Taylor
melakukan revisi Perjanjian Baru Ningpo – suatu tugas berat, kadang-kadang
menghabiskan banyak tenaganya, selama lebih dari tiga belas jam tiap hari.
Tetapi kemajuan paling penting selama masa mudik mereka adalah pekerjaan
organisasional mereka. Pada masa inilah didirikan Misi Pedalaman Cina (CIM –
China Inland Mission).
Lembaga Misi Pedalaman Cina ini bukan gagasan orang yang ingin mendapat
pengakuan atau mengepalai organisasinya sendiri. Sebaliknya itu adalah
gagasan yang berkembang secara perlahan dalarn pikiran dan hati seorang pria
yang terbeban secara mendalam bagi jutaan orang Cina yang tidak pernah
mendengar Injil.
Saat Taylor berkeliling Inggris, orang-orang bukan saja tergerak bukan
hanya oleh kefasihannya dalam berbicara dan juga pengetahuannya yang
mengesankan tetapi juga oleh kegairahannya bagi jiwa-jiwa: “Jutaan orang
perbulan mati tanpa Allah,” bergema di telinga para pendengarnya, dan banyak
yang menanggapi. Dasar dari lembaga misi yang besar sedang diletakkan.
Lembaga CIM adalah lembaga misi yang unik, dibentuk berkisar pengalaman dan
kepribadian Hudson Taylor yang unik. Itu adalah organisasi antardenominasi
yang diarahkan terutama bagi kelas pekerja. Taylor tahu Cina tidak akan pernah
diinjili kalau harus menunggu pendeta yang berpendidikan tinggi dan diutus,
jadi ia mencari pria dan wanita yang berpengabdian di antara kelas pekerja
Inggris yang jumlahnya besar.
Dengan menghimbau pada segmen ini ia menghindari persaingan dengan dewan
misi bagi misi di Cina supaya lebih responsif bagi kebutuhan para misionaris.
Meskipun pada mulainya ia segan untuk mengendalikan, ia sadar akan perlunya
kepemimpinan yang kuat, dan dengan berlewatnya waktu ia menjadi diktator yang
sesungguhnya, meskipun selalu peka terhadap kebutuhan orang di bawah dirinya.
Mengenai keuangan dan dukungan pribadi, para misionaris CIM tidak ditawari
gaji tertentu tetapi bergantung sepenuhnya kepada Allah untuk kebutuhan mereka.
Untuk menghindari penampilan dalam kebergantungan pada sumber daya manusia,
persembahan dan bentuk himbauan keuangan lainnya dianggap sangat tabu.
Pada tahun 1865 CIM didirikan secara resmi, dan pada tahun berikutnya
Taylor sekali lagi siap untuk pergi ke Cina. Yang bersama dengan dia adalah
Maria, empat anaknya dan limabelas tenaga baru, termasuk tujuh wanita lajang
yang siap untuk bersatu dengan delapan tenaga baru yang telah dikirim
sebelumnya.
Selama mudik, Taylor telah meninggalkan kesannya pada Inggris. Menurut
perkataan Charles Haddon Spurgeon, “Cina, Cina, Cina sekarang bergema di
telinga kami dalam cara yang khusus, aneh, musikal dan keras seperti yang
diutarakan oleh Bp. Taylor.”
Pelayaran ke Cina itu benar-benar luar biasa. Sebelumnya belum pernah
terjadi kelompok misi yang begitu besar berlayar dengan pendiri dan direktur
misinya dan dampak pada kru kapalnya begitu dramatis. Pada saat mereka berlabuh
di Cape, permainan kartu dan kutukan telah digantikan dengan pembacaan Alkitab
dan lagu himne. Tetapi ada masalah-masalah lain juga. “Bibit-bibit sakit hati
dan perpecahan” telah merambati mereka, dan kelompok yang sebelumnya harmonis
itu mulai tumbang sebelum mencapai tujuan.
Lewis Nicol, seorang tukang besi yang telah terlatih menjadi pemimpin
kelompok pembangkang. la dan dua misionaris lain mulai membanding-bandingkan
dan sampai pada kesimpulan bahwa mereka dari CIM telah menerima perlengkapan yang jauh di bawah rekan-rekannya dari
Presbiterian dan misionaris lain. Bersama keluhan mereka bermunculan keluhan
lainnya, dan Taylor segera mendapati dirinya diserang secara gencar dengan
panah-panah beracun: “Perasaan di antara kami lebih buruk dari pada yang dapat
saya bayangkan. Yang seorang iri karena yang lain memiliki terlalu banyak
pakaian bagus, yang lainnya karena temannya mendapatkan perhatian lebih.
Beberapa merasa terluka karena diskusi kontroversial lainnya, sehingga
memaksimalkan usaha misi di Cina.
Pengalamannya dengan CES menyebabkan dia mendirikan kantor-kantor cabang
bagi misi di Cina supaya lebih responsif bagi kebutuhan para misionaris.
Meskipun pada mulanya ia segan untuk mengendalikan, ia sadar akan perlunya
kepemimpinan yang kuat, dan dengan berlewatnya waktu ia menjadi pemimpin yang sesungguhnya, meskipun selalu peka terhadap
kebutuhan orang di bawah dirinya. Mengenai keuangan dan dukungan pribadi, para
misionaris CIM tidak ditawari gaji tertentu tetapi bergantung sepenuhnya kepada
Allah untuk kebutuhan mereka.
Untuk menghindari penampilan dalam kebergantungan pada sumber daya manusia,
persembahan dan bentuk himbauan keuangan lainnya dianggap sangat tabu.
Pada saat tiba di Shanghai, Taylor memesan pakaian Cina buatan penjahit
bagi setiap misionaris. Para misionaris semuanya sadar akan pendirian tentang
masalah pakaian Cina itu dan setuju dengan prinsip itu; meskipun
demikian, perubahan yang dirumitkan oleh tekanan kejutan budaya, adalah pukulan
psikologis yang brutal.
Ketidaknyamanan awal yang diakibatkan pakaian dan penghitaman rambut sudah
cukup merupakan siksaan, tetapi ejekan pada mereka oleh komunitas misionaris
lain di Shanghai jauh melebihi kekuatan mereka dan situasinya jauh bertambah
buruk setelah para misionaris pindah ke kemah CIM di Hangchow. Kepemimpinan
Taylor ditantang dan sekali lagi misi itu diliputi perselisihan. Bahkan
pendukung Taylor paling loyal, Jennie Faulding dan Emily Blatchley, telah
berselisih.
Nicol dan yang lainnya menolak mentah-mentah untuk memakai pakaian lokal
dan mulai bertemu secara terpisah untuk makan dan bersaat teduh. Situasinya
tegang dan prospek pembaruan kelihatannya suram. Adakah hal yang dapat
menyelamatkan impian visi ini dari kehancuran?
Harganya mahal, tetapi misi ini diselamatkan. Kejadian ini berlangsung
selama musim panas tahun 1867, satu tahun setengah setelah para misionaris tiba
di Cina. Gracie Taylor yang berusia delapan
tahun serta dibanggakan ayahnya, menjadi sakit. Selama berhari-hari ayahnya
duduk di sampingnya, memberikan bantuan medis terbaik yang dapat diberikan,
tetapi situasinya tidak berubah.
Iklim juga telah memakan korban lain; dan selama berjaga-jaga dengan Gracie
ia melakukan urusan perjalanan lain selama satu hari, di mana saat itu ia
dipanggil ke pos lain untuk merawat Jane McLean yang sakit kritis, salah satu
dari misionarisnya yang menentang keras dirinya. Penyakitnya ternyata tidak
seserius yang dibayangkan, dan ia segera sembuh; tetapi penundaan Taylor pulang
ke rumah ternyata meng-akibatkan Gracie dalam keadaan
kritis.
la mendiagnosa tumor di otak, tetapi ia terlambat
menolong. Dalam beberapa hari Gracie meninggal. Itu adalah tragedi yang
menyedihkan, tetapi menyelamatkan CIM. Kedukaan itu dilupakan dan curahan
simpati menyatukan para misionaris kecuali Nicol dan isterinya dan dua saudari
lajang lainnya, yang salah satunya adalah Jane McLean. Pada musim gugur tahun
1867, Nicol “dikeluarkan” dari misi dan saudari-saudari McLean mengundurkan
diri sehingga mengijinkan keluarga misi untuk bergerak dalam harmoni.
Kematian Gracie bukan berarti mengakhiri semua masalah CIM. Krisis lebih
besar segera datang dan mereka berkisar dendam kesumat, orang-orang Cina terhadap orang asing – permusuhan
yang membesar di pedalaman. Serangan sengit pertama kali terjadi di Yangchow
pada tahun 1868.
Rumah misi diserang dan dibakar dan para misionaris termasuk Maria Taylor
hampir saja tidak mampu menyelamatkan jiwanya. Meskipun para misionaris itu
dalam keadaan damai, kelihatannya tidak masuk akal bahwa kejadian itu membuat
mereka dianggap sebagai penghasut perang, meskipun bukan begitu kejadiannya.
Meskipun Taylor tidak pernah berusaha membalas dendam atau bahkan meminta
perlindungan Inggris, tetapi ada politisi pendukung perang yang memandang
kejadian Yangchow sebagai alasan sempurna untuk mengirim kapal perang dari
angkatan perang kerajaan untuk meredakan Cina, dan CIM menanggung konsekuensinya. Meskipun tidak ada
tembakan, Times dari London dengan putus asa menyatakan kalau “harga
diri politis telah ternoda” dan menuduhnya sebagai kesalahan “para misionaris
di bawah China Inland Mission.” Publikasi negatif yang
berakibat parah. Dukungan keuangan berkurang banyak, dan tenaga baru kehilangan
minat.
Sementara banyak kontroversi internasional seputar kejadian di Yangchow,
para misionaris CIM dengan diam-diam kembali ke kota dan melanjutkan pelayanan.
Keberanian mereka adalah kesaksian bagi orang-orang Cina yang telah mengamati
perlakuan brutal mereka oleh sekelompok kecil pengacau dan pintu sekarang
terbuka bagi kesaksian yang efektif. Sebuah gereja mulai berdiri dan menurut
Emily Blatchley, “Para petobat berbeda dari yang pernah kami alami di Cina.
Ada kehangatan dan kesungguhan di antara mereka.”
Kritik terhadap Taylor dan CIM tidak berakhir dengan kontroversi Yangchow.
Para editor surat kabar dan warga biasa terus menentangnya sampai ia
betul-betul dihabisi. la begitu putus asa sehingga kehilangan semangat untuk
melanjutkan, dan menyerah kepada “cobaan yang hebat … bahkan untuk mengakhiri
hidupnya.” Sementara kekuatan-kekuatan luar ikut memperparah depresinya yang
gelap, penyebab utamanya lebih terletak pada pergumulan di dalam dirinya: “Saya
membenci diri saya; saya membenci dosa saya; tetapi saya tidak memiliki
kekuatan mengalahkannya.”
Makin kuat ia berusaha memperbaiki keadaan rohaninya, makin sedikit
kepuasan yang diperoleh: “Setiap hari, hampir se-tiap jam, kesadaran akan kegagalan dan dosa menindas diri
saya.” “Kapan semuanya berakhir? Tetapi perhatian salah seorang temannya
menyelamatkan Taylor dari kehancuran mental yang parah. Sadar akan masalah
Taylor, teman tersebut dalam suratnya menceritakan rahasia kehidupan
rohani-nya: “Membiarkan Juruselamat saya yang penuh kasih bekerja
dalam diri saya. Kehendak-Nya … tinggal selamanya, tidak berjuang
atau bergumul … Bukan suatu perjuangan untuk memiliki iman, atau meningkatkan iman kita tetapi melihat
orang-orang yang beriman adalah yang paling kita butuhkan. Bersandar sama sekali pada orang yang kita kasihi …”
Dengan surat itu kehidupan Taylor telah berubah: “Allah telah menjadikan diri
saya manusia baru.”
Pembaruan rohani Taylor terjadi saat ia membutuhkan kekuatan bagi dirinya
saat menghadapi ujian pribadi yang hebat. Segera setelah Natal usai pada bulan
Januari 1870, keluarga Taylor mulai melakukan persiapan untuk mengirim empat
anak mereka yang lebih tua kembali ke Inggris untuk pendidikan mereka. Emily
Blatchley, yang mengenal mereka dengan baik, menawarkan diri kembali bersama
dengan mereka untuk memelihara mereka di Inggris, tetapi bagaimanapun juga itu
adalah saat yang menimbulkan trauma bagi keluarga yang sangat dekat.
Jadi karena keadaan itu, Sammy yang berusia lima tahun serta lemah tidak
tahan. Ia meninggal pada awal Februari. Meskipun terjadi tragedi itu, mereka
tetap mengirim anak-anak mereka. Pada bulan Maret, Taylor dengan sedih berpisah
dengan ketiga anaknya, yang tidak dapat mengetahui bahwa ciuman dan pelukan
mereka adalah yang terakhir bagi ibunya di dunia ini. Selama musim panas
setelah itu, Maria yang sedang mengalami hamil tua, mengalami sakit serius.
Pada awal Juli, ia melahirkan bayi laki-laki, yang hidup kurang dari dua
minggu. Beberapa hari setelah kematiannya, Maria juga meninggal pada usia 33
tahun.
Tanpa Maria, Taylor merasa kesepian. la banyak bergantung pada dukungan dan
penilaiannya, dan ia sangat kehilangan kasih sayangnya yang hangat. la
merindukan kebersamaan dengan seorang wanita yang telah lama dirindukannya.,
dan hal itu tanpa ragu mempengaruhi keputusannya untuk mengunjungi Hangchow
pada bulan-bulan setelah kematian Maria, di mana ia melewatkan waktu dengan
Jennie Faulding, seorang misionaris lajang berusia 27 tahun yang merupakan
teman keluarga dekat sejak datang ke Cina bersama keluarga Taylor. Tahun
berikutnya mereka berlayar ke Inggris dan menikah.
Di Inggris, Taylor sangat bahagia untuk bertemu kembali dengan
anak-anaknya, tetapi ia mendapati dirinya dibebani pekerjaan administratif.
Sekretaris di tempat asalnya, W.T. Berger tidak mampu lagi memenuhi tanggung
jawabnya sehingga sebagian besar dari tugas kantor jatuh di pundak Taylor. Selama
mudik ia mengorganisasi dewan untuk mengambil alih tugas-tugas Berger, dan
setelah masalah itu selesai, pada musim gugur 1872, ia dan Jennie kembali ke
Cina.
Saat CIM bertumbuh, Taylor melewatkan sebagian besar waktunya berkeliling
Cina untuk mengawasi pekerjaan di berbagai pos misi. Ia melayani sebagai
penyelesai masalah dan terus menerus dihadapkan pada penyelesaian masalah di
seluruh propinsi Cina, selain kembali ke Inggris. Pada tahun 1874, setelah dua
tahun absen, ia kembali ke Inggris untuk mengelompokkan kembali anak-anaknya,
yang telah terpencar semenjak kesehatan Emily Blatchley yang kurang baik, yang
membuat dia tidak mampu untuk melanjutkan perawatannya; dan sekali lagi pada
tahun 1876 ia kembali untuk menjaga semangat agar tidak padam di negeri asal.
Setiap kali ia kembali ke Cina ia membawa lebih banyak misionaris bersamanya,
dan juga kontroversi bersama mereka.
Meskipun CIM mengalami keberhasilan, kritik tetap saja ada, khususnya
dengan kualitas misionaris yang kurang baik. Pendidikan adalah suatu prestasi
berharga bagi warga Inggris dan mereka yang tidak memilikinya dianggap golongan
bawah.
Meskipun kurang memiliki pendidikan yang baik, tetapi para misionaris
memiliki nilai lebih dalam pengabdian dan gairah mereka. Mereka bersedia
melayani di pedalaman menghadapi bahaya dan kekurangan karena mereka telah
melakukan pengorbanan besar hanya untuk pergi ke Cina. Elizabeth Wilson adalah
salah satu misionaris itu.
Selama bertahun-tahun ia rindu melayani Tuhan di Cina, tetapi karena
kesehatan orang tuanya yang kurang baik, ia terhalang. Selama 30 tahun ia melayani
mereka dengan sabar, dan kemudian pada usia 50 tahun, tiga minggu setelah orang
tuanya yang terakhir meninggal, ia mendaftar ke CIM dan diterima. Usianya yang
makin kelihatan dengan rambut peraknya, membuat dia menjadi penduduk terhormat
di Cina dan melayani dengan setia.
Wanita lajang adalah pemandangan umum di CIM. Taylor telah lama mengenali
bukan hanya kegigihan mereka untuk menjadi relawan tetapi juga potensi mereka
dalam pelayanan. Ada keterbukaan di antara wanita Cina dan hanya misionaris
wanita yang dapat menjangkau mereka secara efektif.
Ujian yang sesungguhnya pada keyakinan Taylor terhadap wanita muncul pada
tahun 1877 ketika ia kembali ke Inggris bersama Jennie dan anak-anak. Muncul
kabar kelaparan hebat yang melanda Cina utara dan diperlukan bantuan untuk para
korban. Itu akan menjadi kesempatan luar biasa bagi penginjilan dan ada banyak
relawan wanita – tapi tanpa pemimpin. Taylor sendiri kurang sehat, dan siapa
lagi mengenal Cina, orang-orangnya serta bahasanya dengan baik untuk memimpin
kelompok misionaris? Jawabannya jelas – Jennie.
Dengan meninggalkan seorang suami dalam keadaan kesehatan yang buruk dan
tujuh anak (dua anaknya sendiri dan empat dari Maria, isteri pertama Taylor,
dan seorang anak-angkat) bukan gagasannya tentang menjadi ibu yang baik, tetapi
ia sadar bahwa pelayanan melebihi ikatan keluarganya sendiri dan Taylor dengan
kuat mendorong dia untuk pergi. Menurut dia, para isteri misionaris bukan
hanya isteri tetapi mereka juga misionaris.
Saat menulis pada para calon misionaris yang berpotensi, ia telah
menegaskan: “Jika anda tidak menginginkan agar isteri anda menjadi seorang
misionaris dan bukan hanya sekedar isteri, ibu rumah tangga dan teman, jangan
bergabung dengan kami. “Jennie adalah seorang “misionaris sejati”. Ditemani
oleh para wanita lajang, ia berangkat menuju ke pedalaman Cina utara, di mana
ia dan para mitranya melayani sampai Hudson bergabung bersamanya pada tahun
berikutnya dengan membawa para tenaga baru.
Makin banyak pekerjaan dan kunjungan Hudson di Cina, makin besar bebannya
untuk menginjili negeri dengan jumlah penduduk yang besar itu, meskipun
tanggung jawabnya begitu besar: “Jiwa-jiwa yang ada sedang menuju kebinasaan
karena kurangnya pengetahuan; lebih dari 1000 orang tiap jam mati dan masuk
dalam kegelapan.” Kelihatannya ini tugas yang mustahil, tetapi
Taylor memiliki rencana.
Jika ia dapat mengumpulkan 1000 orang penginjil dan jika setiap penginjil
itu dapat menjangkau 250 orang per hari dengan Injil, seluruh Cina dapat
diinjili tiga tahun lebih sedikit. Tentu saja itu adalah visi yang tidak
realistis, dan tujuannya tidak pernah tercapai, tetapi CIM meninggalkan kesan
yang tak terhapuskan di Cina. Pada tahun 1882, CIM telah memasuki tiap
propinsi dan pada tahun 1895, tigapuluh tahun setelah pendiriannya, CIM
memiliki lebih dari 640 misionaris yang mengorbankan kehidupan mereka di Cina.
Keinginan Taylor menjangkau seluruh Cina dengan Injil tentu saja ambisi
yang tinggi, tetapi tujuan itu mungkin menjadi kelemahan terbesar CIM. Dalam
menjangkau seluruh Cina kebijakan penyebaran (dan bukannya konsentrasi)
diterapkan. Menurut sejarawan misi ternama, Kenneth Scott Latourette, “Tujuan
utama CIM adalah bukan untuk memenangkan petobat atau membangun gereja Cina,
tetapi menyebarkan pengetahuan akan Injil Kristen di seluruh kekaisaran secepat
mungkin… atau, meskipun para asisten Cina dipekerjakan, tidak ada penekanan
pada perekrutan dan pelatihan dari sebuah pelayanan Cina.” Kebijakan
seperti itu tidak bijaksana.
Permusuhan terhadap orang-orang asing dilampiaskan dalam pemberontakan
Boxer, dan pengambilalihan oleh Komunis beberapa dasawarsa kemudian yang secara
menyolok menggambarkan kelemahan bawaan dari kebijakan yang tidak membangun
pelayanan dan gereja lokal sebagai prioritas nomer satu.
Hari-hari yang suram berlangsung tidak hanya sebentar bagi CIM. Tahun-tahun
akhir abad ke-19 adalah tahun-tahun penuh ketegangan dan kerusuhan. Kekuatan
modernisasi (dan masuknya budaya Barat) bentrok dengan kekuatan tradisi dan
bersikap menentang terhadap para orang asing. Dengan kekuatan-kekuatan
imperial yang bergerak menuju ke sisi konservatif, posisi orang Barat menjadi
berbahaya.
Pada bulan Juni 1900 suatu ketetapan kaisar dari Peking memerintahkan pembunuhan
semua orang asing dan pemusnahan kekristenan. Bencana terbesar dalam sejarah
misi Protestan terjadi. Seratus tiga puluh lima misionaris dan lima puluh tiga
anak-anak misionaris dibunuh secara brutal, dan para misionaris pedalaman yang
gagah berani yang banyak di antaranya adalah wanita lajang yang menderita
paling banyak. Di Propinsi Shansi saja, sembilan puluh satu misionaris CIM
dibantai.
Bagi Taylor yang diisolasi di Swiss, dan tengah memulihkan diri dari
kelelahan mental dan fisik, kabar dari Cina meskipun disembunyikan oleh mereka
yang merawat dia, menjadi terlalu berat bagi dirinya, dan ia tidak pernah pulih
sepenuhnya dari trauma itu. Pada tahun 1902, ia mengundurkan diri dari posisi
sebagai Direktur Umum dari misi itu, dan ia serta Jennie tinggal di Swiss
sampai tahun 1904 saat Jenny meninggal. Tahun berikutnya Taylor kembali ke
Cina, di mana ia meninggal pada bulan setelah ia tiba.
Pada tahun-tahun berikutnya, CIM bertumbuh terus. Pada tahun 1914, CIM
menjadi organisasi misi luar negeri yang terbesar di dunia, dan mencapai
puncaknya pada tahun 1934 dengan 1368 misionaris. Setelah pengambilalihan oleh Komunis pada tahun 1950, CIM bersama dengan
lembaga misi lainnya diusir dari Cina dan setelah melayani seratus tahun, CIM
mengubah namanya pada tahun 1964 menjadi Persekutuan Misi Luar Negeri (OMF –
Overseas Missionary Fellowship), suatu nama yang memberi petunjuk akan kegiatan
misi mereka di wilayah Dunia Timur.
Kontribusi Hudson Taylor pada misi Kristen tidak dapat dihitung. Sulit
membayangkan di mana keadaan misi sekarang tanpa visi dan pandangannya ke
depan. Ia adalah “pemula muda” menurut istilah Ralph Winter, yang dampaknya
pada misi Kristen menyaingi atau melebihi kegiatan William Carey suatu dampak
yang digambarkan secara perseptif dalam ringkasan-nya akan perkembangan
terakhir:
Dengan hanya pengobatan sekolah kejuruan, tanpa pengalaman universitas,
apalagi pelatihan misi, dan masa lalu yang gagal dalam hubungannya dengan
perilaku pribadinya sementara ia berada di lapangan, ia hanyalah salah satu
dari hal kecil yang digunakan oleh Allah untuk membingungkan orang-orang
pandai.
Meskipun strategi misi penanaman anti-gereja pada awalnya secara
mengejutkan banyak mengandung kesalahan menurut standar penanaman gereja pada
masa sekarang. Meskipun demikian secara ajaib Allah menghormati dia karena
pandangannya diarahkan pada orang-orang yang paling kurang dijangkau.
Hudson Taylor memiliki hembusan ilahi di belakangnya. Roh Kudus menghindarkan
dia dari banyak bahaya, dan organisasinya, China Inland Mission – organisasi
pelayan paling kooperatif – yang pada akhirnya melayani dengan satu atau lain
cara atas 6000 misionaris, terutama di pedalaman Cina. Dibutuhkan 20 tahun bagi misi-misi lain untuk mulai
bergabung dengan Taylor dalam penekanan khususnya wilayah-wilayah pedalaman
yang tak terjangkau.
Disadur dari Jerusalem To Irian Jaya By Ruth Tucker dan https://petrusfsmisi.wordpress.com/2007/10/17/hudson-taylor/
Posting Komentar untuk "Cerita Inspiratif Kristen Tentang Pelayanan - Hudson Taylor "