Hiking Ke Jayagiri - Lorong Lumut || Kisah Si Abah
Tingkat peradapan
semakin maju dan maju - hari ke hari sampai kepada tahun demi tahun. Sebagian kita digiring oleh arus yang begitu keras nan
mematikan dan kita terjebak olehnya – dimanakah kita? di pusaran kemajuan
modern. Kehidupan kita digiring olehnya dan apakah kita menikmatinya? Itu
pilihan dan lebih tragisnya lagi “kita dipaksa olehnya”.
Di tengah pilihan dan “paksaan” untuk melaju mengikuti kemajuan itu, sedikit
saja orang yang tidak terpengaruh bahkan diantara yang sedikit itu, sedikit lainnya
memasuki tahap eskrim. Salah satunya si Abah - kami memanggilnya si Abah
(begitulah ia ingin dipanggil).
Hari itu cuaca terlihat
sangat cerah - kalau tidak salah di hari minggu. Saya dan teman memutuskan
untuk menjelajah sekitaran daerah
Jayagiri,
kali ini tujuan kami adalah beberapa tempat yang belum pernah kami datangi. Ya, salah satunya Lorong Lumut.
Kami memang sudah
beberapa kali mendengar dan diceritakan oleh orang-orang yang kami temui
tentang adanya Lorong Lumut di sekitaran Jayagiri – Indah, Hijau di kiri dan kanan dan sensasinya begitu
memanjakan mata – anda berjalan di lorong sempit yang cukup
curam dan digusuhkan
dengan lumut yang tumbuh menempel di dinding lorong, oh
begitu menakjubkan. Salah satu
karya indah sang Maha Kuasa yang patut disyukuri dan dinikmati.
Saya pribadi sangat
tertarik dengan lumut-lumut yang tumbuh hijau disekitaran dinding lorong.
Pokoknya intagramable dhe, haha.
Silahkan anda membayangkannya sendiri.
Perjalanan ke Lorong
Lumut adalah hal baru dan pengalaman baru bagi kami berdua (saya sendiri dan
bang Bona) tentunya. Tidak hanya
Lorong Lumut yang memikat dan membuat kami takjub, Pak tua yang dipanggil si
Abah ini memberi kami surprise dan kesan yang begitu mendalam.
Kesan tentang keramahan. Kesan tentang kebaikan dan budaya yang
dijunjung tinggi olehnya. Rupanya ditengah kemajuan teknologi dan peradapan serta
pengaruh gaya hidup individualism yang merajalela dan memenjarakan sebagian
orang, si kakek ini tidak terpengaruh dan tidak meninggalkan akan nilai-nilai
luhur yang diturunkan oleh Prabu Siliwangi dan orang tuanya – diadopsinya
nilai-nilai itu dan disatukan dalam daging dan darahnya, lalu diekspresikan
dalam tindakan silih Asih (saling mengasihi), silih Asah (saling mengajarkan –
berbagi pengetahuan), silih Asuh (saling melindungi, mengayomi) dan Silih Wangi
(saling mengharumkan) satu dengan yang lainnya sebagai makhluk Allah SWT.
Si Abah memaknai dan menghidupi betul akan filosopi Sunda yang berbunyi
“Someahadeuh kasehma” yang artinya ramah, baik kepada tamu. Filosopi lainnya
yang terkenal adalah “urang sunda mah bageur” artinya orang sunda itu baik,
ramah dll. Hari itu tindakan kecil si Abah memberi kesan yang begitu mendalam
kepada kami tentang dirinya dan urang Sunda pada umumnya.
Kisah dimulai………..
Terlihat dari jauh seorang pria tua yang kira-kira berumur 60an sedang
asyik membersihkan dahan-dahan pohon, kami mendekatinya dan berusaha untuk
mengakrabkan diri dengannya – pria tua ini terlihat sangat serius dengan
tatapan yang tajam dan rawut wajah yang kusut dan sangar, entah apa yang sedang
ia pikirkan, tidak ada yang tahu.
Kami bertanya tentang Lorong Lumut, dia hanya terdiam dan terus
membersihkan dahan-dahan pohon, seolah-olah tidak ada orang disekitarnya, namun
sesekali ia menjawab dan menatap kami dengan wajah yang sangar – tidak ada
senyum di wajahnya. Anda tentu sudah tahu apa yang kami pikirkan.
Saya dan teman saling bertatap-tatapan dan memberi kode untuk
meninggalkan tempat itu, namun sebelum kami ingin meninggalkan tempat itu
muncullah seorang pria tua yang memakai topi koboy, sepatu boot tinggi dan
belati yang diikatkannya di pinggangnya. Pria itu menyapa kami dengan hangat
dan bertanya pada kami apa yang kami cari? Kami mengutarakan akan maksud kami -
kami ingin pergi ke Lorong Lumut, tetapi kami tidak mengetahui dimana
lokasinya.
Pak tua itu terdiam sebentar – mungkin dia berpikir apakah harus
membantu dua orang asing ini atau membiarkan mereka pergi dan mencarinya
sendiri. Setelah terdiam sejenak akhirnya ia bersedia menjadi guide kami
dan langsung mengajak kami pergi ke lokasi itu, Lorong Lumut. Anda bisa menebak
sendiri bagaimana suasana hati kami.
Raut wajah Pak Tua ini terlihat sangat berseri-seri, fresh, bersahabat dan
seolah-olah tidak ada beban hidup. Ia lalu memperkenalkan dirinya kepada kami
dengan panggilan Si Abah. Sepanjang jalan ia banyak bercerita kepada kami bahwa
ini bukanlah kali pertama ia menjadi guide untuk orang-orang yang ingin ke
Lorong Lumut, tetapi sudah sering. Sekitar 15 menit berjalan akhirnya kamipun
tiba di Lorong Lumut, silahkan anda membayangkannya sendiri.
Lebar dinding Lorong Lumut sekitar satu depa orang dewasa dan panjangnya
sekitar 100 meter kurang atau lebih, saya tidak mengingatnya dengan baik.
Setelah mengambil beberapa foto dan melihat-lihat keindahannya, si Abah
mengajak kami untuk pulang jika sudah puas, oh tentu. Kami kembali ke tempat
semula sambil bercerita banyak hal.
Kami bertanya pada si Abah mengapa ia memilih untuk tinggal di tempat
seperti ini? Di tempat ini hanya dia seorang diri dan kuda-kuda yang ia jaga
dan jinakkan - selain itu tempat tersebut tidak ada sinyal seluler, bagaimana
caranya ia menghibur dirinya dan berkomunikasi dengan keluarganya?. Jawaban si
Abah seperti para biksu atau para petapa yang dengan sengaja meninggalkan akan
keramaian, hiruk-pikuk dan kebisingan dan memilih untuk menikmati hidupnya di
suatu tempat yang sunyi dan sepi – tempat dimana ia merasa menemukan dirinya
seutuhnya. Suatu tempat dimana ia healing dengan dirinya dan pencipta.
Satu hal yang dikatakan oleh si Abah kepada kami dan begitu menyentuh
kami adalah, ia nyaman dengan situasi dan lingkungan ini. Ia bisa bebas
untuk mengekspresikan diri disini, ia menikmatinya serta mencintai lingkungan
ini – selain itu ia senang mengantar dan menunjukkan kepada orang-orang akan
spot-spot yang indah dan ketika mereka senang, bahagia dan lain sebagainya
disitulah letak kebahagiaannya yang sesungguhnya.
Anda pasti sudah bisa menebak kami tidak dipungut biaya sepeserpun
bahkan bonusnya bagi kami adalah ia membawa kami ke tempat penangkaran kuda
yang tidak jauh dari situ dan kami bisa melihat bagaimana ia melatih dan
menjinakkan kuda-kuda itu. Kami pulang dengan perasaan yang begitu bahagia,
senang serta kesan yang mendalam dan hal yang lainnya tidak dapat saya
ekspresikan dengan diksi – bukan karena kami sudah melihat indahnya Lorong
Lumut, tetapi sambutan hangat kakek tua ini, Si Abah.
Kami bertekad akan kembali mengunjungi si Abah dan berkemah di sekitaran
penangkaran kuda – Covidpun merebak dan tempat-tempat wisata ditutup, janji
tingal janji. Hingga akhirnya beberapa bulan yang lalu ketika kami kesana,
tempatnya sudah berubah dan lebih tertata.
Berdiri di area masuk tempat itu seorang satpam - kami mendekatinya dan
bertanya apakah si Abah masih bekerja disini? Ia menjawab kami dengan nada
suara yang sedikit parau – sudah dipanggil pulang oleh sang Pencipta beberapa
bulan yang lalu. Terpukul dan tidak percaya, tapi itulah fakta. Kami berdua
hanya bisa mengenang kebaikan si Abah, orang baik yang menyepi dan Rest In
Peace Abah. Kami mengingat akan segala kebaikan, keramahan dan kemurahan
hatimu Abah.
Posting Komentar untuk "Hiking Ke Jayagiri - Lorong Lumut || Kisah Si Abah"